21 November 2024
Indeks

Upacara Adat Poriwanga di Buton Utara, Bentuk Rasa Syukur Atas Rezeki

  • Bagikan
Upacara adat poriwanga Buton Utara
Proses ada prowanga di Desa Rombo Kecamatan Kulisusu Kabupaten Buton Utara (Sumber Gambar: Youtube @maksumroy8686)

SULTRATOP.COM – Poriwanga adalah upacara adat di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang masih ada hingga kini. Upacara adat ini masih dapat terpelihara dengan baik sebagai tradisi masyarakat lokal di wilayah Kabupaten Buton Utara (Butur).

Merujuk penelitian Didin dari Universitas Halu Oleo (UHO), upacara adat poriwanga merupakan sebuah upacara dalam memperingati ditemukannya sumber air yang digali selama tiga tahun. Tradisi ini dilakukan oleh masyarakat Desa Rombo di Buton Utara, sebagai salah satu tuntutan adat.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

Poriwanga juga sebagai bentuk rasa syukur masyarak atas rezeki yang diberikan sang maha pencipta dan berharap dijauhkan dari segala marabahaya. Upacara adat ini dilaksanakan di sebuah sumur tua yang terletak di Desa Rombo.

Pelaksanaannya dengan melakukan pembersihan sumur secara adat, serta melaksanakan kegiatan syukuran yang terdiri dari kegiatan haroa (prosesi berdoa) dan pertunjukan seni budaya berupa tarian-tarian adat yang dilaksanakan di sekitar sumur tersebut.

Tari-tarian tersebut dilakukan untuk meluapkan kegembiraan sekaligus rasa syukur karena adanya sumber air tersebut. Para penonton tidak boleh ikut-ikutan menari, sebelum keturunan dari para penggali sumur ini yang mulai menari.

Dalam penelitian yang terbit di Jurnal Ilmu Komunikasi UHO : Jurnal Penelitian Kajian Ilmu Komunikasi dan Informasi. Volume 5, No. 1, Januari 2020, hlm 51-62 ini terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam upacara adat poriwanga desa Rombo ini yaitu nilai religius, budaya, gotong royong dan kesenian.

Upacara adat poriwanga pada masyarakat Desa Rombo bukan hanya sekadar ritual saja, tetapi di balik itu semua terdapat simbol yang mencerminkan jiwa masyarakat dan ini merupakan warisan dari leluhur mereka.

Proses adat poriwanga dimulai dari penetapan waktu pelaksanaan upacara adat poriwanga (pesomba). Waktu penyelenggaraan upacara adat Poriwangaa ditetapkan berdasarkan hasil musyawarah yang dilakukan oleh tokoh adat,tokoh agama, tokoh masyarakat serta kepala Desa Rombo.

Penentuan hari ini berdasarkan pada penilaian-penilaian yang sifatnya magis, bahwa hari tersebut merupakan hari di mana kalau upacara akan dilangsungkan akan terhindar dari gangguan-gangguan (nahas).

Asal Usul Upacara Adat Poriwanga

Tradisi upacara adat poriwanga merupakan warisan leluhur Kulisusu Buton Utara yang dilaksanakan secara turun temurun. Tradisi ini sudah ada sejak masa Kerajaan Buton sampai sekarang.

Masih berdasarkan penelitian tersebut, upacara adat poriwanga berawal dari kondisi masyarakat Rombo yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan air,pada saat itu untuk mendapatkan air mereka harus berjalan sejauh 3 kilometer.

Karena hal tersebut munculah keinginan masyarakat Rombo untuk menggali sumber air yang tidak jauh dari permukiman mereka. Penggalian sumurpun dilakukan, namun setelah tiga tahun sumur itu digali, ternyata hasilnya belum seperti yang diharapkan atau belum mendapatkan air.

Oleh karena itu pada saat itu, para tetua kampung melakukan pertapaan atau dalam bahasa daerahnya “ndopoamala” yakni meminta kepada sang maha kuasa, agar sumur yang mereka gali tersebut mendapatkan air.

Dalam kegiatan po’amala tersebut ada sumpah yang dilakukan yakni bila sumur tersebut sudah mendapatkan air, maka akan diadakan syukuran untuk memperingati peristiwa tersebut. Namun apabila tidak dilaksanakan maka air sumur itu akan kering atau tidak bisa digunakan dan masyarakat Rombo akan mendapatkan suatu bencana.

Sumur itu pun ditutup dan kegiatan itu berlansung selama tujuh hari tujuh malam yang dilakukan di sekitar sumur yang mereka gali tersebut. Pada waktu itu, setelah tujuh hari tujuh malam sumur itu pun dibuka setelah dilihat ternyata sumur tersebut sudah ada airnya.

Melihat hal itu para tetua kampung serta orang-orang yang berada di sekitar sumur tersebut merasa sangat gembira, sehingga pada saat itu karena rasa gembiranya mereka pun melakukan tari-tarian adat di sekitar sumur tersebut, yang mana para pria melakukan tari Pangaru, dan ada juga yang beratraksi Manca (silat kampung) sedangkan para perempuan melakukan tarian Lense serta tarian Ngibi. (===)

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI


  • Bagikan