SULTRATOP.COM – Memiliki anak adalah suatu kebahagiaan tersendiri bagi masyarakat suku Muna, apalagi bagi pasangan yang baru saja menikah. Ada tradisi pada masyarakat ini yaitu “kasambu” yang merupakan wujud rasa syukur jelang kelahiran bayi atau anak pertama.
Kasambu berasal dari kosa kata Bahasa Daerah Muna yang artianya ‘suap’ atau ‘penyuapan’. Maksud kata ‘suap’ adalah menyuapkan makanan. Sejumlah makanan tradisional terhidang dalam acara 7 bulanan ini (usia kandungan).
Tradisi ini masih hidup dan selalu diadakan di mana pun masyarakat Muna berada. Untuk mendapati acara ini tidaklah sulit, sebab hampir setiap pasangan pengantin baru dari masyarakat Muna yang akan melahirkan anak pertama pastilah mengadakan tradisi kasambu.
Dalam penelitian Fitriani, tradisi kasambu sudah sejak lama bahkan sebelum masuknya Islam di Muna. Hasil penelitian dengan judul “Tradisi Kasambu dalam Masyarakat Muna di Desa Kontukowuna” ini terbit dalam Jurnal Penelitian Pendidikan Sejarah Edisi Volume 2 No. 2, Agustus 2017, Universitas Halu Oleo (UHO).
Lebih lanjut dijelaskan, zaman dahulu tradisi kasambu dilaksanakan oleh masyarakat Muna di Desa Kontukowuna yang merupakan bentuk syukurun terhadap keselamatan seorang istri yang baru pertama kali hamil. Sebab anak pertama merupakan anak pertama kali ada dari rahim seorang istri dan rasa syukur terhadap Allah SWT karena sudah memberikan rezeki terhadap suami istri.
Selain itu, masyarakat Muna percaya dengan adanya tradisi Kasambu akan dapat menghilangkan perasaan takut dan waspada pada seorang istri yang sedang hamil. Tradisi Kasambu memperlancar proses kelahiran sang bayi yang menjadi berkah bagi bayi dan orang tua.
“Tradisi Kasambu diadakan menjelang kelahiran sang bayi pada bulan ke-tujuh supaya seorang istri tidak mengalami kesulitan pada saat dilahirkannya yang merupakan menanti sang bayi yang akan lahir,” tulis Fitriani.
Dalam proses pelaksana tradisi kasambu berbeda-beda di setiap desa atau masing-masing sando (dukun beranak/dukun adat). Penyebabnya adalah perbedaan pemahaman masing-masing sando.
Misalnya saja dalam hal penggunaan pakaian pada tahap kakadiu (dimandikan), pelaksanaan tradisi kasambu di Desa Kotukowuna sebagian tidak lagi menggunakan pakaian daunan karena sulit untuk mendapatkan daun yang biasa digunakan sebelumnya.
Masih berdasarkan hasil penelitian Fitriani, berikut ini proses pelaksanaan tradisi kasambu pada masyarakat Muna.
1. Tahap Persiapan
Keluarga harus mempersiapkan dan bermusyawarah dengan sando, keluarga dekat, dan imam Desa Kontukowuna untuk melaksanakan tradisi kasambu supaya seorang istri dan sang suami di-kasambu.
Kemudian menentukan waktu persiapan tradisi kasambu yang sudah disepakati pada saat musyawarah untuk menentukan pelaksanannya yang telah ditetapkan. Sehingga, tahapan tradisi kasambu ada yang berbeda syarat-syarat tradisi kasambu karena adanya pemahaman sando masing-masing.
Adapun syarat-syarat dan bahan-bahan yang akan disiapkan pada proses pelaksanaan tradisi kasambu terdiri atas: kandulua (bantal), piso (pisau), doi (uang), kalei siladja (pisang raja), ghoti (nasi) lapa (lapa-lapa), katupa (ketupat), ghuntelinu manu wuna (telur ayam kampung), wadhe (wajik), susuru (cucur), kaholeno kalei manuru (pisang goreng bugis), sirikaea (kue srikaya).
2. Tahap Pelaksanaan
a. Kakadiu (siraman/mandi)
Pertama dilaksanakan pada proses tardisi kasambu adalah kakadiu atau siraman yakni ketika siraman suami istri menghadap ke barat dengan tujuan untuk menghindari mala petaka. Ini juga untuk menghilangkan semua hal-hal yang terburuk terhadap suami istri serta sang bayi di dalam rahim istri.
Kedua, dimandikan kembali oleh sando menghadap ke timur dengan tujuan untuk membuka rezeki suami istri serta sang bayi di dalam rahim istri yang akan dilahirkan serta mambawa rezeki yang berkah terhadap kedua orang tuanya, keluarga dekat maupun keluarga jauh, serta orang lain.
Sando memandikan suami istri yang melaksanakan tradisi kasambu di tengah-tengah rumah sebagai simbol pembuka jalan untuk melahirkan sang bayi yang sehat dan patuh kepada kedua orang tua serta menjadi berkah terhadap orang lain.
Selain itu, di tengah-tengah rumah dengan maksud agar menjadi berkah terhadap sang bayi sehingga dapat menghapus atau membersihkan kesalahan-kesalahan, sikap-sikap yang tidak baik, dan perilaku yang telah dilakukan suami istri pada saat mengandung sehingga proses kelahiran sang bayi menjadi lancar.
b. Detunu dupa bhe kabasano haroa (bakar dupa serta pembacaan haroa)
Imam kampung membakar dupa serta membaca haroa (tradisi baca doa) untuk proses pelaksanaan tadisi. Sebelum kasambuhi/penyuapan dan pembacaan haroa terlebih dahulu bakar dupa bermakna untuk meningat sumanga/orang meninggal supaya istri dan sang bayi tidak mengalami penyulitan pada saat melahirkan.
Selanjutnya, kabasano haroa/pembacaan doa merupakan tahap di mana Imam kampung akan membacakan doa selamat untuk suami istri serta sang bayi di dalam rahim istri.
Imam juga membacakan doa untuk memohon kepada Allah Swt. agar istri yang sedang hamil dapat diberi kemudahan dan kelancaran saat menghadapi proses persalinan tanpa ada kendala atau hambatan apapun agar anak yang dilahirkannya selamat sampai di dunia.
c. Dopointara lima modhi bhe moghane bhe robhine meangkafino adhatino kasambu (jabat tangan imam kampung antara suami istri yang mengikuti tradisi kasambu)
Imam kampung jabat tangan dengan suami istri yang melaksanakan tradisi kasambu. Sesudah bakar dupa dan pembacaan haroa yang pertama jabat tangan adalah imam dengan suami yang melaksanakan tradisi kasambu yang bermakna bahwa suami telah menjadi kepala keluarga, mencari nafkah dan menjadi ayah untuk anak pada saat dilahirkan. Yang kedua, imam berjabat tangan dengan istri yang melaksanakan tradisi kasambu yang bermakna bahwa pada saat melahirkan seorang istri akan menjadi ibu yang berguna untuk suami dan anaknya.
d. Dopointara lima modhi bhe sando bhe mie maino (jabat tangan imam kampung dan sando serta orang-orang yang datang)
Pada tahap ini imam kampung berjabat tangan dengan sando yang bermakna bahwa Sando itulah yang tahu semua tata cara tradisi kasambu. Yang keempat saling jabat tangan satu sama lain yang menyiratkan bahwa tanpa adanya masyarakat atau orang-orang sekitar maka tradisi kasambu tidak akan berjalan lancar, dalam hal ini melaksanakan tugas masing-masing seperti memasak perlengkapan tradisi kasambu.
e. Kateino doi (simpan uang)
Pada tahap ini, kateino doi/simpan uang di depan pasangan suami istri yang melakukan tradisi kasambu, Imam kampung serta orang-orang yang berada di dalam rumah supaya membuktikan bahwa uang tersebut tidak pelongko/telungkup atau tidak baik. Sehingga, uang yang disiapkan sebanyak 1-5 receh sampai seterusnya sebagai cadangan apabila uang yang dibuang tidak telungkup maka harus diulang lagi karena menandakan hal yang buruk atau tidak baik disebabkan ada kelainan yang terjadi pada proses kelahiran sang bayi.
Oleh karena itu, uang kateino doi/uang yang disimpan harus pendaka/terlentang dengan maksud agar proses persalinan bisa berjalan dengan baik serta bayi yang lahir dengan normal dan selamat. Jika uang langsung Pelongko/terlentang maka menandakan hal yang baik pada proses persalinan sang bayi.
f. Kasambuhi (suap makanan)
Pada tahap ini suami istri serta anak kecil yang mendampingi mereka akan di-sambuhi/disuap, dengan makanan yang telah dipersiapkan oleh sando sendiri, seperti telur, ayam, lapa-lapa (makanan khas dari beras), pisang goreng, wajik, cucur, kue srikaya.
Pada rangkaian tahap pelaksanaan itu terdapat juga kasungkino kandulua (bantal yang dicungkil) yang bermakna bahwa supaya anak yang lahir berjalan dengan lancar.
Dalam hasil penelitiannya ini, Fitriani menyatakan bahwa semua kegiatan penyuapan serta bantal yang dicungkil bermakna untuk menyatukan kedua kelurga pihak suami istri serta memperkenalkan silaturahmi terhadap lingkungan dan keluarga serta sang bayi yang kelak ia akan melahirkannya.
Selain itu, tradisi kasambu pada saat kasambuhino/penyuapan makanan yang telah dimakan atau tidak dihabiskan tidak bisa dipanaskan karena menandakan yang tidak baik, yaitu akan menjauhkan rezeki terhadap sang bayi. (===)