SULTRATOP.COM – Kalosara merupakan simbol adat atau suatu sistem hukum adat dalam masyarakat Tolaki di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Kalosara juga simbol persatuan dan kesatuan suku Tolaki yang sejak dulu mendiami bekas Kerajaan Konawe dan bekas Kerajaan Mekongga yang meliputi wilayah Kendari, Konawe, Kolaka, dan sekitarnya.
Secara kebahasaan, kalosara terdiri dari dua suku kata yaitu “kalo” dan “sara”. Kalo adalah rotan yang dibentuk melingkar sedangkan sara adalah adat atau segala aturan adat istiadat pada masyarakat Tolaki.
Dalam simbol kalosara memang terdapat rotan yaitu lingkaran batang rotan yang dipilin tiga dan terikat menyimpul. Lingkaran rotan itu memiliki pengalas kain putih berbentuk persegi yang di bagian bawahnya terdapat talam anyaman.
Mengapa pakai rotan?
Dalam penelitian Munir yang terbit di “Jurnal Fokus Penelitian Budaya: Masalah-Masalah Kebudayaan dan Masyarakat”, dijelaskan bahwa rotan sangat berarti dalam kehidupan manusia, karena merupakan tumbuhan yang bermanfaat.
Selain untuk pembuatan benda yang satu ini, rotan juga dapat dijadikan wadah sehari-hari, seperti misalnya pembuatan keranjang, tikar rotan, dan perabot rumah tangga lainnya. Rotan itu tidak mudah patah ataupun putus, sehingga dapat dibentuk menurut kehendak kita.
Dengan demikian, lanjut Munir, digunakannya rotan sebagai bahan kalosara mempunyai arti dapat memperingatkan seseorang dalam hidupnya agar selalu bermanfaat dan berguna, baik untuk kepentingan dirinya sendiri maupun untuk kepentingan orang banyak/umum.
Manusia harus hidup rukun dan bekerja sama dengan orang lain, saling menolong sehingga dapat terjalin suatu persekutuan hidup yang damai dan tenteram serta dapat terhindar dari perselisihan.
Kemudian, merujuk penelitian Jamil yang juga terbit dalam “Jurnal Fokus Penelitian Budaya: Masalah-Masalah Kebudayaan dan Masyarakat”, dijelaskan bahwa Kalo sara tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sehari-hari orang Tolaki.
Kalosara sebagai simbol persatuan kesatuan dan simbol hukum adat selalu hadir dalam berbagai peristiwa penting dalam kehidupan orang Tolaki. Misalnya dalam penyelesaian berbagai konflik/sengketa baik dalam skala besar (misalnya sengketa yang melibatkan kampung dengan kampung) maupun skala kecil (misalnya sengketa yang melibatkan individu dengan individu).
Selain itu kalosara juga terdapat dalam pengurusan perkawinan, menyambut tamu, dalam menyampaikan undangan lisan, menyampaikan berita duka, dan berbagai peristiwa lainnya kalosara selalu hadir.
Dalam penelitiannya itu, Jamil menjelaskan kalosara menjadi landasan kultural bagi setiap individu dalam menciptakan suasana kehidupan bersama yang aman damai serta dalam menegakkan aturan baik berupa hukum adat maupun hukum negara.
Contoh kasus, di Desa Mokowu ada beberapa orang pendatang yang belum mengatahui situasi yang ada di Desa Mokowu. Mereka mengadakan acara hiburan malam atau lebih dikenal dengan acara molulo (lulo).
Anak muda pendatang tersebut kebetulan mengkonsumsi minuman keras bersama teman-temanya. Dalam acara tersebut berjalan seperti biasa kemudian dalam tahapan lulo tersebut pemuda pendatang tersebut menginjak kaki sala satu peserta lulo yang diketahui adalah salah satu pemuda di desa Mokowu.
Hal itu mengakibatkan ketersinggungan di antara keduanya dan berakhir dengan cekcok dan penikaman yang mengakibatkan pemuda setempat luka dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Konflik tersebut dapat diredam yang melibatkan tokoh-tokoh adat setempat melalui jalur adat mombesara dengan media kalosara.
Makna dalam Simbol Kalosara
Pada kalosara ini terdapat peralatan yang masih tradisional seperti rotan, daun sirih, buah pinang, talam anyaman, dan kapur sirih. Peralatan ini sudah turun-temurun digunakan, sejak zaman kerajaan tempo dulu.
Masing-masing alat tersebut memiliki makna khusus. Masih berdasarkan penelitian Jamil, makna tradisi kalo sara pada masyarakat Tolaki sebagai berikut:
(1) Alat yang digunakan masih bersifat tradisional yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Alat tersebut merupakan wadah anyaman dan sakral sehingga untuk mendapatakan bahan dasarnya saja harus dengan usaha dan rejeki yang baik dan mujur.
(2) Siwole Uwa adalah sejenis talam yang dianyam dari pelepah enau (o rema) dengan motif-motif tertentu dalam bahasa tolaki disebut I nana (anyam) dan bermakna sebagai dasar kehormatan. Selain itu, Siwole Mbatohu merupakan ekspresi politik kewilayahan pada masa kepemimpinan Mokole Tebawo atau Sangia Inato pada abad ke XVII kekuasaan wilayah kerajaan.
(3) Kalo berbentuk lingkaran uang terbuat dari tiga utas rotan yang kemudian dililit ke arah kiri berlawanan dengan arah jarum jam. Tiga ujung rotan yang dua di antaranya tersembunyi dalam simpul berkaitan erat dengan kata bijak. Sementara itu, lilitan tiga utas rotan mempunyai makna sebagai kesatuan dari stratifikasi sosial orang Tolaki.
(4) O bite (daun sirih) merupakan tanaman merambat, akan tetapi bukan parasit atau benalu. Sehingga, tidak merusak pohon tempatnya dia merambat. Daun siri merupakan simbol hati dan digunakan sejak dulu untuk menujukkan spritualitas, emosi, dan moral.
(5) I nea (buah pinang) bagi orang Tolaki memiliki nilai yang sangat tinggi dalam adat istiadat. I nea (buah pinang) merupakan lambang keturunan orang yang memilik budi pekerti yang baik, jujur, serta memiliki derajat yang tinggi.
(6) Lopa-lopa niwule merupakan lambang penerimaan dari kedua bela pihak yang terdiri dari kapur sirih (O wule) yang bermakna hati putih dan keiklasan. Namun kapur sirih punya sisi buruk bahwa kapur sirih mengandung reaksi kimia yang dapat menghancurkan apapun, diandaikan sifat manusia apabila dalam keadaan baik maka akan kelihatan putih dan bersih, akan tetapi ketika tersakiti atau dicederai maka akan menimbulkan dampak yang buruk. (===)
Sumber:
https://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB/article/view/6610/5617
https://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB/article/view/38650/18327