SULTRATOP.COM, KONAWE UTARA — Pulau Labengki dijuluki sebagai miniatur Raja Ampat karena memiliki banyak pulau-pulau kecil, gugusan karang, dan pantai-pantai dengan pasir putih dan air laut biru. Namun tak hanya itu, ternyata Labengki memiliki sudut lain yang menawarkan pengalaman berwisata tak biasa.
Salah satunya adalah Puncak Labengki. Mendaki Puncak Labengki bukan hanya tentang menaklukkan ketinggian, tetapi juga menghadapi mitos yang menyelimuti tempat ini.
Di balik batuan karst yang tajam dan jalur yang menantang, puncak ini menyimpan cerita keramat yang membuat penduduk setempat enggan mendakinya. Namun, bagi para petualang, tantangan itu justru menjadi daya tarik untuk mengeksplorasi sudut lain dari Pulau Labengki, salah satu permata wisata Sulawesi Tenggara.
Pada 2021, seorang pendaki bernama Isfan mencoba menaklukkan puncak ini dalam sebuah ekspedisi. Perjalanan dimulai dari belakang Nirwana Resort pada pukul 13.00 Wita. Jalur yang ditempuh tak mudah; sejak awal pendakian, mereka dihadapkan pada rute yang terus menanjak dengan batuan karst yang terjal di kiri dan kanan. Tak ada jalan landai, hanya tanjakan yang semakin curam.
“Jalur menuju puncak Labengki ini sangat menantang. Tak ada tempat untuk beristirahat dengan nyaman. Fisik benar-benar diuji, apalagi bebatuan di sepanjang jalan membuat langkah harus ekstra hati-hati,” kata Isfan, mengenang pengalamannya.
Meski begitu, perjalanan ini tak hanya membutuhkan kekuatan fisik, tetapi juga kemampuan navigasi. Jalur menuju puncak belum terbentuk dengan jelas, sehingga mereka harus menggunakan aplikasi peta untuk menentukan arah. Isfan menegaskan, tanpa kemampuan membaca peta atau pendamping profesional, perjalanan ke puncak Labengki bisa sangat berisiko karena jalurnya yang rawan membuat pendaki tersesat.
Setelah menempuh perjalanan selama empat jam, mereka akhirnya tiba di puncak dengan ketinggian 686 meter di atas permukaan laut. Puncak ini bukanlah puncak tertinggi di kawasan Labengki, namun justru menjadi titik yang lebih sering dikunjungi karena vegetasi di puncak tertinggi menutup seluruh pandangan.
Pemandangan di puncak didominasi oleh hutan lebat dan bebatuan karst yang memantulkan panas matahari. Namun, keindahan Labengki tetap terasa di tengah kondisi tersebut. Beberapa bunga anggrek liar dan pandan bali menghiasi kawasan ini, memberikan nuansa unik yang jarang ditemukan di puncak lainnya. Jika beruntung, pendaki juga bisa menjumpai burung rangkong, satwa endemik yang menambah pesona alam di Labengki.
Bagi masyarakat setempat, Puncak Labengki dianggap sebagai kawasan keramat yang dijaga oleh penunggu gaib. Kepercayaan ini membuat warga enggan untuk mendaki, sehingga puncak ini tetap terjaga keasriannya. Mitos ini pula yang menambah daya tarik bagi pendaki seperti Isfan, yang ingin membuktikan bahwa Puncak Labengki memiliki keindahan dan cerita tersendiri di balik kesunyiannya.
Pulau Labengki sendiri terkenal sebagai destinasi wisata yang menawarkan berbagai pesona, mulai dari pantai berpasir putih, danau biru yang jernih, hingga gua dan teluk yang eksotis. Namun, dari semua itu, Puncak Labengki adalah salah satu pengalaman yang berbeda, terutama bagi mereka yang mencari petualangan ekstrem dan cerita yang tak terlupakan.
Di Puncak Labengki, setiap langkah adalah tantangan, setiap tanjakan adalah ujian, dan setiap pandangan adalah kenangan. Keindahan tersembunyi ini menunggu para petualang untuk menjelajahinya, membawa pulang kisah tentang keberanian, mitos, dan keajaiban alam yang tak lekang oleh waktu.
Berpotensi Jadi Destinasi Panjat Tebing
Selain keindahan puncaknya yang menantang, Pulau Labengki juga menyimpan potensi besar untuk pengembangan wisata panjat tebing. Salah satu daya tariknya adalah Mahitala Wall, tebing lurus dengan tinggi sekitar 60 meter dan lebar 30 meter yang terletak di tanjung barat Pulau Labengki.
Habib, seorang penggiat wisata Labengki, menceritakan bahwa tebing ini pertama kali dieksplorasi oleh Mahitala, komunitas mahasiswa pencinta alam dari Institut Teknologi Bandung (ITB). Sebagai penghormatan, tebing tersebut kemudian dinamai Mahitala Wall.
Lokasi tebing ini berjarak sekitar 45 menit perjalanan menggunakan kapal dari Pulau Labengki Kecil, tepatnya di area setelah Pantai Pasir Merah. Keunikan Mahitala Wall terletak pada posisinya yang langsung menghadap garis pantai, memberikan pemandangan laut biru yang memesona sekaligus tantangan ekstra bagi para pemanjat.
Menurut Habib, pihaknya telah mencoba menguji tebing ini untuk aktivitas panjat tebing dan hasilnya cukup menjanjikan. Bahkan, baut-baut untuk pijakan kaki sudah mulai dipasang, meskipun baru setinggi 10 meter. “Tebing ini punya potensi besar untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata climbing. Tapi saat ini baru tahap awal karena sumber daya manusia untuk pengelolaannya masih menjadi kendala,” jelasnya.
Habib menambahkan, pengelolaan tebing seperti ini membutuhkan tenaga ahli yang bersertifikat agar pengelolaannya profesional dan aman. Sayangnya, tenaga ahli lokal di Labengki masih belum tersedia. “Mungkin SDM-nya harus didatangkan dari Kendari atau kota lain. Tebing ini kan unik, langsung menghadap laut, jadi perlu dikelola dengan standar tinggi,” ujarnya.
Jika dikembangkan dengan serius, Mahitala Wall bisa menjadi daya tarik baru di Pulau Labengki, melengkapi deretan objek wisata lainnya seperti pantai, gua, dan puncaknya yang eksotis. Dengan segala keunikannya, Mahitala Wall berpotensi menarik lebih banyak wisatawan, khususnya para pencinta olahraga ekstrem dan panjat tebing.
Pulau Labengki kembali membuktikan bahwa keindahan alamnya bukan hanya untuk dinikmati, tetapi juga untuk ditantang, memberikan pengalaman yang mendebarkan sekaligus tak terlupakan bagi para pengunjung.
Akses ke Labengki
Pulau Labengki masuk ke dalam wilayah administratif Kecamatan Lasolo, Kabupaten Konawe Utara (Konut). Kondisi geografis Labengki adalah kepulauan sehingga hanya bisa ditempuh dengan jalur laut. Namun, ada banyak titik start yang bisa dipilih wisatawan. Semakin dekat titik startnya maka biaya sewa kapal juga lebih murah.
Rata-rata kapal yang mengangkut wisatawan adalah milik warga lokal Labengki. Jika ingin ke Labengki, wisatawan tinggal menghubungi warga setempat dan meminta dijemput di titik start yang diinginkan.
Pertama wisatawan bisa memilih titik start dari dermaga Kota Kendari yang berada di kawasan kota lama. Dari sini dibutuhkan waktu sekitar tiga jam untuk sampai ke Labengki, tergantung kecepatan kapal yang dipilih. Tentu biaya yang dipatok juga lebih besar.
Kedua, titik start yang biasa dipilih wisatawan adalah di Desa Nii Tanasa, Kecamatan Lalonggasumeeto, Kabupaten Konawe. Dari sini dibutuhkan waktu sekitar dua jam lebih untuk sampai ke Labengki.
Ketiga lewat penyeberangan Tinobu di Kabupaten Konawe Utara. Titik ini merupakan yang terdekat dibanding dua titik start lainnya.
Dari Kota Kendari menuju dermaga penyeberangan Tinobu bisa menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat dengan estimasi perjalanan sekitar dua jam.
Sesampainya di dermaga, wisatawan dapat menumpangi kapal milik warga Desa Labengki dengan waktu tempuh 1 jam perjalanan saja.
Selama di Labengki, ada dua pilihan menginap, yaitu di vila atau homestay milik warga setempat. Untuk vila tarifnya juga beragam mulai Rp1,5 juta hingga Rp3 juta per orang. Sedangkan di homestay dipatok harga Rp250 ribu per orang. Itu sudah termasuk sarapan, makan siang, dan makan malam. (—)
Reporter: Tim Redaksi
Editor: Jumriati