16 September 2024
Indeks

Putusan MK dan DPR RI soal UU Pilkada Berbeda, KPU Sultra “Pasrah” pada KPU RI

  • Bagikan
PSX 20240822 173921 Putusan MK dan DPR RI soal UU Pilkada Berbeda, KPU Sultra “Pasrah” pada KPU RI
Asril

SULTRATOP.COM, KENDARI – Munculnya perbedaan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI soal Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) memicu reaksi penolakan di berbagai kalangan masyarakat, aktivis, maupun organisasi lainnya.

KPU Sulawesi Tenggara (Sultra) pun tak lepas dari dampak kontroversi ini. Dalam tanggapannya, Ketua KPU Sultra Asril menyatakan bahwa pihaknya akan mengikuti arahan dari KPU RI, terlepas dari segala pro dan kontra yang berkembang. Kata dia, kontroversi itu bukanlah sesuatu yang bisa mereka intervensi.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

“Ada beberapa informasi pasca keluarnya putusan MK dan DPR. Ini menjadi diskusi panjang termasuk di penyelenggara. Kami tidak mau membahas itu, kami serahkan ke KPU RI, apapun putusan yang dituangkan dalam PKPU itu yang kami laksanakan,” ungkap Asril saat membuka kegiatan “Penyuluhan Hukum Tindak Pidana Pilkada 2024” di salah satu hotel di Kendari pada Kamis (22/8/2024).

Kendati demikian, KPU Sultra berharap agar polemik ini segera menemukan titik terang, sehingga pelaksanaan pilkada dapat berjalan lancar dan sesuai harapan masyarakat.

Kontroversi ini diperkirakan akan terus berkembang, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap proses demokrasi di tingkat daerah.

Pada kontroversi yang terjadi saat ini, MK dan DPR berbeda pandangan soal ambang batas dan usia pencalonan pada pilkada.

Dalam UU Pilkada, ambang batas pencalonan adalah 20 persen kursi DPRD atau 25 persen dari suara sah. Sementara dalam putusan MK pada 20 Agustus 2024, ambang batas itu berubah menjadi 6,5 persen hingga 10 persen sesuai dengan jumlah penduduk.

Namun, dalam putusan Badan Legislatif DPR pada 21 Agustus 2024, ambang batas itu disebut hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Dalam UU Pilkada juga disebutkan batas usia minimal calon gubernur adalah 30 tahun. Dalam putusan MK, minimal 30 tahun yang dimaksud adalah saat ditetapkan sebagai calon oleh KPU, sementara dalam putusan DPR batas minimal 30 tahun itu saat dilantik.

Selanjutnya, batas usia untuk calon bupati atau wali kota adalah minimal 25 tahun dalam UU Pilkada. Dalam putusan MK, minimal 25 tahun itu saat ditetapkan sebagai calon oleh KPU, sementara dalam putusan DPR minimal 25 tahun saat dilantik.

Kisruh tersebut dimulai pada 20 Mei 2024. Partai Buruh dan Partai Gelora mengajukan gugatan ambang batas pencalonan Pilkada ke MK. Mereka mengklaim berhak mencalonkan kepala daerah karena memperoleh suara sah Pemilu DPRD.

Pada 6 Juni 2024, Mahkamah Agung (MA) memaknai minimal usia calon kepala daerah yakni 30 tahun untuk gubernur dan bupati/wali kota saat pelantikan. Sehingga pada 11 Juni 2024 diadakan sidang perdana pengujian materil.

Pada 20 Agustus 2024, MK mengabulkan gugatan dan mengizinkan pencalonan kepala daerah oleh partai dengan ambang batas suara sebanyak 6,5 persen sampai 10 persen suara sah sesuai dengan jumlah penduduk.

MK juga mengatakan batas usia pencalonan tidak berubah, minimal 30 tahun untuk gubernur dan 25 tahun untuk bupati/wali kota saat penetapan pencalonan KPU (berbeda dengan pemaknaan MA).

Pada 21 Agustus 2024, Badan Legislatif (Baleg) DPR menggelar rapat kerja untuk mengubah UU Pilkada dengan mengembalikan ambang batas pencalonan 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah dan usia calon kepala daerah dimaknai saat pelantikan.

Pada 22 Agustus 2024, sidang paripurna untuk mengesahkan RUU Pilkada tersebut ditunda. Ratusan massa menolak usulan Baleg DPR dan ingin putusan MK tetap dilaksanakan. (—-)

Kontributor: Ismu Samadhani
Editor: Ilham Surahmin

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI

  • Bagikan