7 May 2024
Indeks

Cerita Seorang Penyandang Tuna Daksa di Pinggiran Kendari tentang Pemilu

  • Bagikan
Agus Sarman Tangke

SULTRATOP.COM, KENDARI – Siang itu, Rabu (24/1/2024) bertempat di salah satu pemukiman pinggiran Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), tampak seorang pria dewasa berdiri dengan sebuah tongkat kayu yang setia menemaninya.

Saat berjalan, ia terlihat sempoyongan. Terkadang, kakinya terseret di tanah. Jika berjalan tanpa tongkat dan menemui hambatan seperti jalan berlubang atau batu, ia bisa saja terjatuh dan menjadi cemoohan orang yang tidak mengerti dengan kondisinya.

Iklan Astra Honda Sultratop

Lelaki itu adalah Agus Sarman Tangke, seorang penyandang tuna daksa sejak lahir. Saat ini ia tinggal jauh masuk ke dalam Jalan Jambu, Kelurahan Anggoeya, Kecamatan Poasia. Untuk sampai ke sana, harus melewati banyaknya jalan berlubang dan suasana layaknya pedesaan. Rumah-rumah sekitarnya masih jarang, tumbuhan sekitar jalan masih rimbun seperti jalan menuju perkebunan.

Dalam percakapan yang hangat, Agus berbagi pandangannya tentang Pemilu yang telah belangsung sebelumnya dan yang akan datang. Menurut pria berusia 28 tahun itu, partisipasi politik sangat penting bagi semua warga negara, tanpa memandang kondisi fisik atau latar belakang lainnya.

Meski memiliki kondisi fisik yang tidak seperti orang lainnya, ia tetap percaya bahwa penyandang disabilitas memiliki hak suara untuk berpartisipasi dalam menentukan arah negara. Namun, tentu ada beberapa kendala yang harus dihadapi, seperti aksesibilitas tempat pemungutan suara (TPS) yang belum sepenuhnya ramah disabilitas.

Pada Pemilu 2024 ini merupakan pemilihan pertama bagi Agus di Kota Kendari. Ia adalah seorang yang lahir dan besar di Kontunaga, Kabupaten Muna sejak 22 Agustus 1995. Sehingga, pemilihan-pemilihan sebelumnya ia lakukan di Muna.

Penyandang tuna daksa
Aktivitas Agus menjaga sekolah.

Saat mengikuti pemilihan di Muna pada 2010 dan 2014, ia mengaku telah mendapatkan fasilitas TPS yang ramah disabilitas seperti mendapat pengawalan saat di TPS, disediakan tempat duduk khusus dan dituntun menuju bilik suara saat akan melakukan pencoblosan. Namun, ia mengaku bahwa fasilitas berupa jalan yang dilalui saat itu dan perlakuan terhadap disabilitas masih kurang diperhatikan. Ia pernah terjatuh saat berjalan dan menuju TPS.

“Kadang kita dipegang tidak sesuai dengan keinginan. Jadi saya secara pribadi, jatuh pernah karena saya tidak bisa imbangi. Jadi saya bilang sama hansipnya ‘kalau bisa dilepas saja pak, saya setengah mati’. Saya bukannya tidak mau ditolong, tetapi selagi saya masih mampu lakukan sendiri saya lakukan. Kalaupun yang mengerti biar kita tidak minta tolong, harusnya ditolong,” ungkapnya.

Kendati demikian, Agus mengaku terbantu dengan adanya penyelenggaraan Pemilu. Ia bisa mengetahui bentuk dan cara memilih maupun berinteraksi dengan orang banyak. Kata dia, fakta yang terjadi selama ini, penyandang disabilitas terkesan diremehkan, tak terkecuali di TPS.

“Katanya, ih, masa orang cacat mau memilih. Tapi kan disini kita kembalikan ke hak kita. Hak itu berarti tidak bisa diganggu gugat. Jadi, kemarin-kemarin kalau dipojokkan sama orang-orang yang mempunyai kelebihan dibandingkan kita, kita harus menunjukkan kalau kita itu bisa. Karena kalau mau bicara secara jenjang mungkin beda, tapi secara kapasitas, kita hari ini semua manusia sama,”.

“Saya hanya tersenyum, dalam hati saya bilang ‘Woi, jangan bilang seperti itu. Karena hari ini kita sama-sama makan nasi’. Maksud saya, janganlah kita bertanya untuk menyinggung seseorang, karena hari ini bukan waktunya kita bergantung sama orang. Itu ibaratkan pohon yang sudah rebah dan tidak bisa tumbuh kembali. Itu jauh lebih sulit,” tutur Agus.

Pada Pemilu 2024, Agus mengaku telah didata oleh tim penyelenggara Pemilu. Namun, sampai saat ini belum ada sosialisasi yang diterimanya. Sebagai salah satu difabel, sosialisasi dikatakannya sangat penting untuk mengetahui lokasi TPS, fasilitas yang disiapkan maupun apa yang harus dilakukan saat di TPS nanti.

Terlebih, lokasi tempat tinggalnya saat ini berada di ketinggian dengan jalan pegerasan dan berlubang. Sehingga, menyulitkan Agus untuk keluar dari tempat tinggalnya dengan kondisinya saat ini, terlebih jika hujan turun.

Dengan kondisi seperti itu, Agus hanya menunggu surat panggilan dan langkah penyelenggara Pemilu dalam mencari solusi akan akses agar ia bisa ke TPS. Jika solusi itu tak ada, Agus pun akan tetap berusaha untuk menyalurkan hak pilihnya pada pesta demokrasi 2024 ini.

Akses jalan untuk sampai ke tempat tinggal Agus.

Kata Agus, difabel tidak butuh diperhatikan, tetapi jika diperhatikan mereka akan lebih bersyukur. Hal-hal tersebut diakuinya selalu dijumpai menjelang Pemilu. Tiba-tiba saja ada orang yang datang menemui bahkan tidak dikenali dan tidak diketahui maksudnya sekalipun.

Memiliki keterbatasan fisik, Agus juga dulu sering dipandang sebelah mata dan tidak dihiraukan karena tidak memiliki uang. Bahkan, sebelum melangkah pun orang terdekat sudah berpikiran negatif. Hal itulah yang mendorong Agus untuk bisa melakukan sesuatu yang menghasilkan.

Untuk itu, tahun 2020 ia mulai beranjak dari zona nyamannya untuk mengadu nasib di Kota Kendari. Saat ini dia bekerja menjaga Sekolah Luar Biasa (SLB) Kusuma Bangsa Kendari, tepat di samping tempat tinggalnya. Untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, Agus juga merawat pepaya untuk dijual dan membuat telur asin. Agus kini mempunyai tabungan dari penghasilannya itu. (***)

 

Penulis: M1



google news sultratop.com
  • Bagikan