SULTRATOP.COM, KENDARI – Rumpun Perempuan Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar lokakarya inisiasi kelurahan inklusif di salah satu hotel Kendari, Rabu (27/3/2024). Lewat lokakarya inisiasi kelurahan inklusif ini diharapkan terbangun kolaborasi antara pemerintah kelurahan, kelompok-kelompok masyarakat, dan Rumpun Perempuan Sultra (RPS).
Kelurahan inklusif merupakan wujud pemerintahan yang melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif dengan berbagai keberagaman serta mengurangi kesenjangan di masyarakat. RPS sebagai mitra Pemerintah Kota Kendari sedang melaksanakan program Inklusi di Kota Kendari khususnya di 15 kelurahan, menilai pentingnya kolaborasi dengan pemerintah Kelurahan dalam rangka mendukung pembangunan kelurahan yang inklusif.
Direktur RPS Sultra, Husnawati menjelaskan inklusi adalah sebuah pendekatan untuk membangun dan mengembangkan sebuah lingkungan yang semakin terbuka, mengajak masuk dan mengikutsertakan semua orang dengan berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik, kemampuan, status, kondisi, etnik, budaya dan lainnya.
Kelurahan atau desa inklusif merupakan model pemerintahan yang mengakomodasi hak semua orang, tak terkecuali penyandang disabilitas. Pemerintah kelurahan melibatkan partisipasi masyarakat secara aktif, terbuka, menghargai keragaman, serta menghilangkan hambatan.
“Siapapun harus dilibatkan untuk berpartisipasi di dalam pembangunan di tingkat kelurahan. Misalnya terlibat di dalam musrembang tingkat kelurahan, untuk mengusulkan berdasarkan kebutuhan kelompok atau masyarakat secara umum, tidak secara individu. Nah ini kemudian kita bicara bagaimana membangun kelurahan secara bersama-sama,” ujar Husna ketika membuka lokakarya yang melibatkan para lurah dan camat tersebut.
Kelompok yang dimaksud tak terkecuali untuk kelompok disabilitas. Secara khusus, kelompok ini punya kebutuhan yang berbeda sehingga pemerintah harus merespon. Kelompok ini sebagai warga negara punya hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, sarana publik yang layak, dan layanan-layanan publik lainnya yang responsif disabilitas, responsif lansia, atau kelompok-kelompok rentan lainnya.
Adapun ke-15 kelurahan tersebut yakni Wua-wua, Anawai, Mataiwoi, Bonggoeya , Watubangga, Lepo-lepo, Watulondo, Punggolaka, Kemaraya, Watu-watu, Sodohoa, Anggalomelai, Petoaha, Tobimeita, dan Poasia.
Kota Kendari terdiri dari 11 Kecamatan dengan 65 kelurahan, tapi hanya 15 kelurahan itu dipilih bukan tanpa alasan menjadi sasaran program inklusi. Husnawati menyebut alasannya tidak lepas dari dukungan pihak kelurahan dan camat. Kemudian terdapat perempuan-perempuan tanggung yang terdapat di 15 kelurahan tersebut.
Terdapat 9 indikator kelurahan inklusif yang secara nasional sudah ditetapkan yakni sebagai berikut.
- Memiliki data dan informasi yang komprehensif dan terus diperbarui, termasuk data penyandang disabilitas. RPS memiliki pengalaman survei pada tahun sebelumnya di 15 kelurahan, banyak difabel yang tidak terdata dalam data kelurahan. Akibatnya, penyandang disabilitas yang tidak memiliki KTP tidak bisa mendapatkan bantuan.
- Ada wadah bagi warga difabel. Misal pembentukan kelompok disabilitas supaya ada aktivitas atau hal-hal yang penting.
- Ada jaminan keterlibatan dalam proses pengambilan kebijakan. Husna pernah punya pengalaman ketika reses salah satu anggota DPRD yang tak melibatkan disabilitas sebagai peserta reses. Alasan si anggota DPRD yakni tidak tahu cara menghadirkan peserta dari disabilitas. Ini menurut Husna tidak responsif dan tidak inklusif secara pemikiran.
- Adanya perencanaan anggaran yang mengarusutamakan gender dan difabel (proses, alokasi anggaran, realisasi dan evaluasinya).
- Di tingkat kelurahan ada regulasi atau kesepakatan bersama yang menjadi poin penting, misalnya penyandang disabilitas wajib dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
- Kesetaraan akses pada layanan umum di kelurahan. Akses-akses ini harus memudahkan. Misalnya kata Husna, posyandu lansia jangan sampai jauh diakses oleh para lansia.
- Keberadaan sarana fisik yang lebih aksesibel.
- Adanya bentuk tanggungjawab sosial dari masyarakat.
- Adanya ruang untuk berinovasi.
Kondisi Layanan Publik di Kota Kendari
Ketua Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) Cabang Kendari, Junaid yang menjadi pemateri dalam lokakarya tersebut memaparkan tentang kondisi layanan publik di Kota Kendari. Dari penjelasannya, belum ada regulasi tentang penghormatan, perlindungan, pemenuhan hak disabilitas (masih proses).
“Belum terdapat sarana dan prasarana yang memadai bagi penyandang disabilitas pada fasilitas umum lampu dan jalur penyeberangan bagi disabilitas, tangga yang belum memadai bagi disabilitas, transportasi yang aman bagi disabilitas, taman-taman kota yang belum ramah disabilitas, dan lainnya,” papar Junaid.
Junaid menyebut layanan publik belum sepenuhnya ramah disabilitas, khususnya di kelurahan sebagai ujung tombak pelayanan publik di tingkat masyarakat. Tidak tersedia handriling, bidang miring, juru bahasa isyarat, dan standar operasional prosedur layanan yang belum ramah disabilitas dan lansia.
Oleh karena itu, lanjut Junaid, sangat penting mendorong pelayanan publik yang ramah bagi kelompok rentan, disabilitas, lansia, dan lainnya khususnya di tingkat kelurahan. Salah satu yang terpenting adalah 9 indikator kelurahan inklusif. (===)