13 May 2025
Indeks

Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas

  • Bagikan
Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas

SULTRATOP.COM, BUSEL – Pulau Batu Atas menjadi titik kecil di selatan Sulawesi Tenggara, tepatnya di Kabupaten Buton Selatan (Busel), Kecamatan Batu Atas. Warga Batu Atas telah lama hidup dalam kegelapan. Di tengah keterbatasan, mereka bergotong royong menyalakan cahaya. Meski remang tapi cukup untuk bertahan. Tahun 2018, pemerintah menghadirkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang hanya memberi napas tambahan.

Pada pukul tujuh malam Wa Ode Mida (50) menyalakan tiga bohlam di rumahnya. Cahaya redup di rumahnya baru bisa dinikmati pada Desember 2024 lalu. Tak secara cuma-cuma, akses listrik di rumahnya menjadi hasil jerih payahnya selama bertahun-tahun.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

“Kadang saya sahur gelap-gelap, karena lampu sudah mati. Hanya pakai senter,” ujarnya sambil menghela napas panjang saat ditemui di rumahnya pada Sabtu (22/3/2025).

Wa Ode Mida telah lama hidup sendiri di Desa Batu Atas Timur, Pulau Batu Atas, setelah suaminya meninggal dan anaknya merantau untuk berkuliah. Luas pulau ini hanya lebih sedikit dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta atau sekitar 8,3 km2. Terdiri atas satu kecamatan dengan tujuh desa dan masuk dalam administrasi Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara.

Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas
Aktivitas Wa Ode Mida di malam hari harus dibantu senter. Meski demikian, ia bersyukur telah menikmati listrik dari PLTS hasil jerih payahnya sendiri. (Ismu/Sultratop.com)

Sehari-hari dia bekerja serabutan, mulai dari meBerasapmbantu nelayan menjual hasil tangkapannya, menjadi kuli bangunan hingga menjunjung bebatuan dari kebunnya.

Dia menabung untuk membeli komponen PLTS sederhana dari kota Baubau—6 jam melalui perjalanan laut—agar merasakan hidup di bawah cahaya terang. “Saya beli Rp2,8 juta dari Baubau. Saya pasang di atap, tergantung cuaca, ini lampu tiga buah saja kadang tidak lama menyalanya. Redup begini saja kalau cuaca tidak terlalu panas. Ih, tau e,” ceritanya.

Desa Batu Atas Timur menjadi satu dari tiga dari tujuh desa yang tak memiliki aliran listrik dari PLTS program pemerintah pada 2018 hingga saat ini. Pulau Batu Atas terdiri dari 7 desa, yaitu Batu Atas Timur, Batu Atas Barat, Batu Atas Liwu, Taduasa, Tolando Jaya, Wacuala, dan Wambongi.

Wa Ode bilang, lampu di rumahnya hanya menyala redup karena kapasitas baterainya hanya 50 Ah (Ampere hour). Jika cuaca cerah, katanya dia bisa menggunakan listrik dari PLTS sejak pukul 7 malam sampai 1 pagi. Tapi, listrik kadang mati tanpa aba-aba jika cahaya matahari kurang.

Meski redup, Wa Ode merasakan manfaat dengan adanya PLTS. Dia bisa menghemat pengeluaran untuk membeli minyak tanah untuk lampu pelita. Biasanya dalam satu minggu dia membutuhkan Rp 220.000 untuk membeli 20 liter minyak tanah, kini jumlah tersebut bisa digunakan dalam sebulan untuk membeli air aki.

“Kalau pakai lampu pelita juga dalam rumah berasap katanya. Asapnya seperti knalpot, bikin sakit mata. Ini biar sedikit-sedikit kita sudah bisa juga nikmati listrik,” ceritanya di bawah sinar redup lampu rumahnya.

PLTS Sebagai “Napas” Tambahan

Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas
Pengelola PLTS Taduasa, La Ngape menyebut PLTS terpusat yang dibangun pemerintah hanya mampu mengalirkan listrik dengn daya terbatas, untuk beberapa bohlam lampu saja per rumah. (Ismu/Sultratop.com)

Sejak 2018, pemerintah membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) secara bertahap di Pulau Batu Atas. Data Dinas ESDM Sultra mencatat ada lima PLTS terpusat yang tersebar di Desa Wambongi, Batu Atas Barat, Taduasa dan dua sisanya di Desa Tolando. Pembangunannya menggunakan APBN EBTKE, yang kini menjadi aset kabupaten.

Kendati demikian, PLTS tersebut tidak mampu menjangkau seluruh masyarakat pulau. Aliran listrik hanya untuk 1.076 sambungan, rumah warga yang terdata saat PLTS dibangun. Sementara desa lainnya, yaitu Batu Atas Timur, Batu Atas Liwu, dan Wacula masih menggunakan pelita, genset, dan PLTS yang dibeli sendiri untuk penerangannya.

Bahkan, PLTS di desa Tolando Jaya kini sudah tidak beroperasi karena inverter yang tersambar petir. Otomatis, 530 sambungan sebelumnya, termasuk rumah yang baru dibangun kembali menggunakan pelita, genset, dan PLTS pribadi.

Camat Batu Atas, Faharudin turut menyaksikan tak ada perubahan menonjol dari perekonomian di pulau itu meskipun PLTS terpusat telah dibangun oleh pemerintah. Hanya kebutuhan penerangan rumah masyarakat yang sangat membantu.

“Kemajuan desa akibat PLTS ini sama dan biasa saja. Dampak ekonominya hanya pengeluaran keuangan, yakni masyarakat sudah tidak memikirkan lagi membeli minyak tanah untuk lampu tradisional,” ungkapnya.

Es Batu dari Panel Surya Beri Keuntungan bagi Nelayan

Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas
La Ode Ali Hamsah

Hidup nelayan di Batu Atas bergantung pada irama alam. Dulu, La Ode Ali Hamsah (42) salah satu warga Batu Atas Timur turun melaut berdasarkan cuaca. Jika ombak tidak terlalu tinggi, ia sangat semangat turun memancing menggunakan perahu mesinnya. Sebaliknya, jika cuaca buruk, maka nelayan seperti dia akan menetap di rumah demi keselamatan.

Hasil tangkapannya hanya bisa dijual ke masyarakat pulau karena akses ke kota yang jauh, 5-6 jam perjalanan laut untuk sampai ke Kota Baubau. Penghasilan dari hasil tangkapannya pun terbilang sangat minim. Sekali melaut, ia hanya bisa mendapatkan Rp100 ribu, kadang kurang dan kadang lebih.

Hasil itu harus dibaginya dengan biaya bahan bakar untuk kembali turun melaut dan kebutuhan sehari-hari. Belum lagi banyaknya nelayan di Pulau Batu Atas yang juga menggantungkan hidupnya pada profesi itu. Persaingan pasar juga terjadi di Batu Atas. Hal itu membuat nelayan di sana, termasuk Ali Hamsah tidak berani menangkap banyak.

“Sebentar-sebentar saja kita melaut, paling 2 atau 3 jam,” ungkap La Ode Hamsah.

Pasalnya, jika tak laku, ikan hasil tangkapan bisa rusak dan membusuk karena tidak adanya es batu ataupun cold storage di pulau Batu Atas. Bukan masyarakat tak mampu membelinya, keterbatasan daya listrik menjadi kendala utamanya.

Namun, kini nelayan di pulau Batu Atas sedikit terbantu dengan hadirnya penampungan milik salah satu warga desa Batu Atas Timur, Chandra Mustika Ady. Seperti yang dirasakan La Ode Hamsah. Kini, ia bisa turun melaut setiap hari dengan waktu yang cukup lama. Hasil tangkapannya kini ia jual di penampungan milik Chandra.

Sehari, ia bisa meraup penghasilan di atas Rp200 ribu perharinya tergantung banyaknya ikan yang bisa ia dapatkan di laut. Penghasilan itu cukup untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah 6 orang anaknya.

Chandra Mustika Ady membangun PLTS di rumahnya secara mandiri dengan kapasitas 5.000 watt. Pengalaman bekerja sebagai agen kapal di Batam dibawa ke Pulau Batu Atas untuk membuat penampungan ikan atau ‘cold storage’ agar dia bisa membantu menjual ikan-ikan nelayan ke kota Baubau.

Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas
Chandra Mustika Ady (Kanan) menunjukan beberapa alat yang digunakan dalam proses pembuatan es batu untuk penampungan ikannya. (Ismu/Sultratop.com)

“Awalnya saya bikin itu dayanya 450 watt. Saya rakit sendiri. Saya beli aki 100 ampere dari Baubau, trafo-trafo saya gulung sendiri, komponennya semua saya rakit sendiri. Dua tahun saya pakai itu sambil kumpulkan uang,” tuturnya.

Kini dia telah memiliki 6 buah kulkas untuk membuat balok es agar bisa mengawetkan ikan. Total kebutuhan komponennya mencapai Rp 150 juta, termasuk 4 buah baterai dengan kapasitas masing-masing 4.800 Ampere.

“Dayanya 5.000 watt kalau matahari bagus. Kalau matahari mendung, saya matiin kulkas-kulkas. Kalau hujan juga penjualan es turun, karena orang tidak jualan es. Paling laris itu saat matahari terik, cepat haus. Tapi es batu itu saya prioritaskan untuk ikan,” jelasnya.

Chandra menampung ikan hasil tangkapan nelayan untuk dijual ke Kota Baubau dengan waktu 5 sampai 6 jam perjalanan laut dari pulau Batu Atas. Ikan yang dibeli dari nelayan tergantung kebutuhan pasar di sana dengan harga yang juga disesuaikan harga pasar. Misalnya, ikan tengiri dibawah 3 Kg di harga Rp10-12 ribu, tapi di atas 3 Kg bisa sampai Rp15-17 ribu per Kg. Harga tersebut lebih tinggi jika dibanding penjualan ke warga pulau.

Kata dia, antusias masyarakat nelayan untuk turun melaut menjadi lebih tinggi sejak adanya penampungan tersebut yang biasanya beberapa kali dalam seminggu menjadi rutin tiap hari. Pasalnya, nelayan bisa mendapatkan penghasilan yang lebih untuk kebutuhannya.

Setiap hari, ada sekitar 100 kg atau dua boks ikan tangkap yang dikirim ke Kota Baubau. Saat musim baik, pengiriman bisa mencapai lima boks, sebaliknya jika musim ikan sedikit, Chandra harus menunggu tangkapan hingga satu boks penuh.

Cahaya yang Remang-Remang: Kebijakan Setengah Hati PLTS di Batu Atas
Marjumagus

Kepala Bidang (Kabid) Perikanan Budidaya dan P2HP Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Sultra, Marjumagus mengatakan, wilayah perairan sekitar pulau Batu Atas memiliki potensi yang besar untuk perikanan tangkap. Namun, karena keterbatasan daya listrik, membuat cold Storage atau tempat penampungan ikan belum maksimal.

Berdasarkan data DKP Buton Selatan, tahun 2023 nelayan pulau Batu Atas terdiri dari 657 Rumah Tangga Perikanan (RTP) memiliki hasil tangkap sebesar 3.071.520 kg dari 20 jenis ikan. Angka tersebut meningkat di 2024 menjadi 788 RTP dengan hasil tangkap 3.253.208 kg dari 20 jenis ikan.

Untuk memaksimalkan pemasaran hasil tangkap nelayan di pulau Batu Atas dan Busel secara umum, DKP Sultra mengupayakan pembangunan dermaga Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) di Sampolawa, Kecamatan di Busel yang letaknya di Pulau Buton, 5-6 jam perjalanan dari pulau Batu Atas.

“Kalau sudah ada PPI kan sandar mi kapal-kapal di sana toh? Di sana juga akan difasilitasi cold storage dan kebutuhan lainnya. Kalau sudah ada itu, kapal-kapal industri yang ada di Sultra bisa datang beli ikan di sana, perusahaan-perusahaan susah bisa kerja sama dengan yang punya cold storage,” ucap Marjumagus.

Sebenarnya, anggaran untuk pembangunan PPI di Sampolawa telah dianggarkan melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) sekitar Rp20 miliar dan ditarget akan dibangun pada 2025. Namun, anggarannya kembali ditarik pemerintah pusat padahal DIPA-nya sudah ada. Ia harap tahun 2026 keuangan negara sudah membaik sehingga pembangunan PPI di Sampolawa itu bisa terlaksana.

Di tahun 2016 ada bantuan yang diturunkan untuk para nelayan Batu Atas dari kementerian kelautan dan perikanan melalui identifikasi Pemprov Sultra. Untuk keluhan nelayan Batu Atas, Marjumagus mengaku pihak provinsi akan kembali mengupayakan.

“Yang jelas, Pemprov Sultra kedepan akan lebih memperhatikan daerah-daerah terluar seperti Batu Atas itu,” ungkap Marjumagus. (A/ST)

Kontributor: Ismu Samadhani

Follow WhatsApp Channel Sultratop untuk update berita terbaru setiap hari

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI


  • Bagikan