SULTRATOP.COM, MUNA BARAT – Warga Desa Lalemba, Kecamatan Lawa, Kabupaten Muna Barat, mengeluhkan proyek jalan usaha tani senilai Rp153 juta yang bersumber dari Dana Desa. Mereka menilai kualitas pekerjaan tidak sesuai kesepakatan awal dan berpotensi merugikan petani karena perataan jalan hanya menggunakan jonder, bukan greder seperti yang direncanakan.
Penggunaan jonder dinilai tidak mampu menghasilkan permukaan jalan yang benar-benar rata dan padat seperti hasil greder. Akibatnya, jalan yang menjadi akses utama petani ke kebun berisiko cepat bergelombang, berlubang, dan rusak ketika musim hujan tiba.
Kondisi tersebut dikhawatirkan akan mempersulit pengangkutan hasil panen, meningkatkan biaya transportasi, bahkan membuat sebagian lahan sulit dijangkau kendaraan pengangkut. Dalam jangka panjang, kualitas yang buruk dapat membuat proyek ini kehilangan manfaatnya sebelum waktunya dan memaksa pemerintah mengeluarkan anggaran tambahan untuk perbaikan.
Proyek pembukaan jalan usaha tani sepanjang 740 meter ini menuai keluhan dan sorotan dari masyarakat setempat. Apalagi, pengerjaan proyek ini menggunakan dana publik, sehingga pelaksanaannya dinilai harus transparan dan sesuai rencana awal.
“Kami menduga ada penyimpangan dalam pekerjaan jalan usaha tani ini. Kami menemukan bahwa perataan jalan ini tidak menggunakan greder seperti yang telah disepakati dalam rapat desa, melainkan hanya menggunakan jonder (traktor). Ada apa ini, dan ini sangat merugikan masyarakat,” kata salah satu warga Desa Lalemba, La Ode Pure kepada Sultratop.com, Kamis (14/8/2025).
La Ode Pure membeberkan bahwa dalam rapat bersama warga, pembukaan jalan usaha tani menuju kebun warga disepakati diratakan dengan greder. Tujuannya agar jalan tersebut bagus, rata, dan padat, sehingga tidak bergelombang saat dilalui warga untuk mengangkut hasil kebun.
“Penggunaan jonder untuk meratakan jalan tersebut tidak akan menghasilkan jalan yang berkualitas baik dan rentan cepat rusak. Hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa ada pihak-pihak yang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kualitas pekerjaan,” ucapnya.
“Anggaran ini berasal dari DD yang bersumber dari APBN. Jangan sampai ada pihak-pihak yang lebih mengejar keuntungan proyek dibandingkan kualitas,” tambahnya.
Apalagi, biaya sewa jonder dan greder jelas berbeda, di mana sewa greder umumnya lebih mahal karena kapasitas dan kualitas kerjanya yang lebih unggul. Jika dalam perencanaan awal tercatat penggunaan greder, namun di lapangan diganti dengan jonder yang biayanya lebih rendah, selisih anggaran itu menimbulkan tanda tanya besar.
Perbedaan biaya ini bisa membuka celah terjadinya penyimpangan anggaran, terutama jika sisa dana tidak jelas penggunaannya atau tidak dialokasikan kembali untuk peningkatan kualitas pekerjaan. Kondisi ini semakin memperkuat kecurigaan warga bahwa ada pihak yang lebih mengutamakan keuntungan pribadi ketimbang kepentingan masyarakat.
Untuk itu, mewakili masyarakat Lalemba, ia meminta Inspektorat Muna Barat segera turun tangan melakukan audit terhadap pekerjaan tersebut. Langkah ini dinilai penting untuk menjamin transparansi dan kualitas pembangunan yang dibutuhkan para petani.
“Kami mendesak Inspektorat Muna Barat dan BPK RI untuk memperhatikan setiap proyek fisik di desa kami agar tidak terjadi penyimpangan atau penyelewengan anggaran,” tuturnya.
Sementara itu, Pemerintah Desa Lalemba melalui perangkat desa, Ramadan, membenarkan bahwa perataan jalan usaha tani menggunakan jonder. Namun, ia menegaskan jonder yang dipakai memiliki doser pada bagian depannya.
Ia membantah adanya kesepakatan dalam rapat terkait jenis alat yang akan digunakan untuk perataan jalan. Menurutnya, kesepakatan yang ada hanya terkait pembukaan jalan baru menuju kebun warga.
“Jadi, arahan dari pendamping teknis di desa, setelah survei lokasi, ternyata ada jurang dengan luas 8×10 meter dan kedalaman sekitar 4 meter lebih. Jurang ini tidak mungkin dilewati greder, sehingga kami sepakat menggunakan doser yang ada pada jonder di desa,” bebernya.
Menurutnya, penggunaan greder di lokasi tersebut sulit dilakukan karena kondisi medan yang terjal. Oleh sebab itu, pendamping teknis merekomendasikan penggunaan jonder dengan doser depan.
“Yang ada dalam rapat itu hanya pengusulan pembukaan jalan usaha tani. Tidak ada kesepakatan perataan jalan ini menggunakan greder. Kami juga bingung ini,” ungkapnya.
Ramadan mengaku awalnya memang direncanakan menggunakan alat berat (greder), namun saat peninjauan lokasi, pendamping teknis menyatakan greder tidak bisa melewati jurang tersebut.
“Dalam perencanaannya itu memakai doser. Jadi kami memakai jonder yang ada dosernya bagian depannya,” jelasnya.
Ditanya apakah dalam perencanaan pekerjaan jalan usaha tani ini ada biaya sewa alat doser, Ramadan menjawab ada. Menurutnya, biaya sewa jonder diberikan kepada kelompok tani yang mengelola alat tersebut. (A/ST)
Laporan: Adin