SULTRATOP.COM, KENDARI – Pasar THR di Jalan Budi Utomo, Kecamatan Wua-Wua, Kota Kendari, diduga beroperasi tanpa izin. Ironisnya, meski melanggar aturan, pemerintah kota sepertinya tak bisa bertindak tegas. Apa penyebabnya?
Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UKM Kota Kendari, Alda Kesutan Lapae, mengungkapkan bahwa pihaknya sudah mengetahui aktivitas pasar tersebut. Namun, ia mengaku kaget saat mendapati pasar itu tidak memiliki izin resmi.
“Pasar ini memang berada di antara perempatan kios-kios di THR, saya sampai kaget. Artinya, pasar itu tidak memiliki izin,” ujar Alda kepada awak media, Kamis (6/2/2025).
Menurut Alda, pengelola Pasar THR tidak memahami tata cara, pengelolaan, serta regulasi pembangunan pasar. Selain itu, keberadaan pasar ini disebut melanggar peraturan daerah (Perda).
“Saya bisa beranggapan bahwa pasar itu tidak berizin,” tegasnya.
Meski sudah terindikasi ilegal, pemerintah kota tak bisa langsung mengambil tindakan. Alda menjelaskan bahwa kewenangan untuk pemanggilan dan penertiban berada di tangan Wali Kota, Sekretaris Daerah (Sekda), serta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
“Kami di dinas perdagangan tidak memiliki wewenang untuk menutup, mencabut izin, atau melarang aktivitas pasar,” jelasnya.
Selain Pasar THR, Alda menyebut ada beberapa pasar ilegal lain yang beroperasi di Kota Kendari, di antaranya:
- Pasar Panjang
- Pasar Perempatan Anduonohu
- Pasar Lawata
- Pasar Korem
Kendari Kian Semrawut
Kota Kendari semakin diwarnai kesemrawutan akibat menjamurnya pasar ilegal yang tak sesuai peruntukan kawasan. Keberadaan mereka menjadi tantangan besar bagi pemerintah kota dalam menata sektor perdagangan.
Pasar-pasar ini tumbuh tanpa regulasi yang jelas, menempati lahan-lahan strategis tanpa izin resmi, dan beroperasi di luar kendali pemerintah. Meski sudah menjadi sorotan, hingga kini belum ada langkah konkret yang benar-benar diambil untuk menertibkan mereka.
Tak hanya pasar ilegal, fenomena lain yang turut mencerminkan ketidakteraturan tata niaga di Kendari adalah semakin maraknya pedagang yang berjualan di pinggir jalan. Dari penjual sayur hingga pedagang ikan, mereka tidak lagi terkonsentrasi dalam satu kawasan pasar yang tertata, tetapi menyebar di berbagai titik, mengganggu estetika kota.
Ironisnya, di tengah menjamurnya pasar ilegal dan pedagang kaki lima, pasar resmi yang dibangun dengan fasilitas lengkap justru sepi peminat. Contoh nyata, Pasar Baru Wua-Wua yang berdiri megah di pusat kesibukan kota dengan gedung yang memadai, tapi tak mampu menarik pedagang maupun pembeli dalam jumlah yang signifikan.
Situasi ini memunculkan pertanyaan besar: mengapa pasar yang legal justru ditinggalkan, sementara pasar ilegal terus berkembang pesat? Apakah ada faktor regulasi, biaya sewa, atau faktor lain yang membuat pedagang lebih memilih opsi di luar sistem?
Tanpa solusi yang jelas, kondisi ini berpotensi semakin memperburuk tata kelola perdagangan di Kendari. Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin pasar ilegal dan pedagang liar akan semakin mendominasi, sementara pasar resmi yang dibangun dengan dana besar hanya menjadi monumen kosong tanpa aktivitas ekonomi yang berarti. (B/ST)
Laporan: Bambang Sutrisno