1 May 2025
Indeks

Seruan AJI Kendari dan IJTI Sultra di Hari Buruh 2025: May Day Bukan Hanya Milik Buruh Pabrik, Jurnalis Juga Tertindas

  • Bagikan
Seruan AJI Kendari dan IJTI Sultra di Hari Buruh 2025: May Day Bukan Hanya Milik Buruh Pabrik, Jurnalis Juga Tertindas
Jurnalis AJI Kendari dan IJTI Sulawesi Tenggara (Sultra) gelar aksi damai May Day. (Foto: Bambang Sutrisno/Sultratop.com)

SULTRATOP.COM, KENDARI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar aksi damai untuk memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day 2025. Aksi ini dipusatkan di kawasan eks MTQ Kendari, Kamis (1/5/2025).

Kedua organisasi jurnalis ini sama-sama menyuarakan perlawanan terhadap dominasi oligarki dan militerisme yang dinilai sebagai ancaman nyata bagi demokrasi, kebebasan pers, dan hak-hak pekerja media.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

AJI Kendari menilai May Day bukan hanya momentum perjuangan buruh pabrik atau sektor industri, melainkan juga ruang konsolidasi bagi jurnalis dan pekerja media yang terus mengalami ketertindasan struktural.

Ketimpangan ekonomi dan kemunduran demokrasi dianggap sebagai buah dari kekuasaan yang dikendalikan segelintir elite ekonomi oligarki dan dilindungi kekuatan militer.

AJI juga menyoroti bagaimana kekuatan pemilik modal telah mengendalikan arah media massa di Indonesia. Konsentrasi kepemilikan yang sempit menggerus independensi redaksi dan mengubah media menjadi corong kepentingan politik dan bisnis.

“Media kini menjadi alat propaganda, bukan lagi ruang publik. Jurnalis dibungkam, kebenaran dikorbankan,” ungkap Ketua AJI Kendari, Nursadah.

Peningkatan represi terhadap jurnalis oleh aparat berseragam juga menjadi sorotan tajam dalam aksi ini. Kekerasan saat peliputan aksi, pengusiran dari lokasi konflik, hingga kriminalisasi dengan dalih Undang-Undang ITE terus membayangi kerja-kerja jurnalistik di lapangan. Militerisme tidak hanya membungkam suara rakyat, tetapi menindas jurnalis yang bekerja untuk kepentingan publik.

Satu tantangan besar lainnya adalah rendahnya kesadaran berserikat di kalangan jurnalis. Perusahaan media terus menambahkan narasi bahwa jurnalis bukan pekerja, meski dalam kenyataannya mereka bekerja berdasarkan perintah dan menerima upah.

AJI menegaskan bahwa jurnalis adalah bagian dari kelas buruh dan harus memperjuangkan hak kolektif mereka. Oleh karena itu, AJI Kendari mengeluarkan sikap resmi yang terdiri dari sembilan poin, yakni lawan dominasi oligarki dalam industri media, tolak militerisme yang menindas rakyat dan membungkam pers. tuntut upah layak dan status kerja jelas bagi seluruh jurnalis.

Kemudian dukung kebebasan pers dan hak berserikat di ruang redaksi, mendesak pemerintah menciptakan ekosistem media yang sehat, independen, dan non-partisan, mengajak jurnalis dan buruh media untuk membentuk serikat pekerja demi memperkuat posisi tawar.

Selanjutnya mendorong Dewan Pers dan pemerintah membentuk sistem pengawasan yang menjamin hak normatif buruh media, mendesak DPR untuk merevisi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2023 sesuai amanat Mahkamah Konstitusi, dan terakhir menuntut perusahaan media memberikan kompensasi yang layak dan bermartabat kepada jurnalis yang mengalami PHK.

Pekerja Media Masih Didera PHK dan Upah Rendah

Seruan AJI Kendari dan IJTI Sultra di Hari Buruh 2025: May Day Bukan Hanya Milik Buruh Pabrik, Jurnalis Juga Tertindas
Jurnalis Kendari. (Foto: Bambang Sutrisno/Sultratop.com)

Kondisi memprihatinkan juga disampaikan AJI Indonesia secara nasional. Dalam survei bertajuk “Wajah Jurnalis Indonesia 2025” yang melibatkan 2.002 responden dari berbagai daerah, ditemukan bahwa mayoritas jurnalis masih menerima upah rendah dan bekerja tanpa status hukum yang jelas.

Ketua Umum AJI Indonesia, Nany Afrida, menyebut bahwa gelombang PHK terus terjadi, diperparah oleh disrupsi digital yang menggerus pendapatan iklan media.

Sayangnya, hal ini justru dimanfaatkan perusahaan untuk menekan jurnalis melalui kontrak kerja yang eksploitatif dan sistem kemitraan yang tidak manusiawi.

“Jurnalis dipekerjakan bertahun-tahun dengan status kontrak atau sebagai mitra. Mereka tidak mendapat jaminan sosial, tidak memiliki perlindungan hukum, dan harus mencari penghasilan sendiri,” ujar Nany Afrida.

Situasi ini mengakibatkan kekerasan ekonomi yang sistemik dan menjadikan jurnalis hidup dalam kondisi yang jauh dari layak, meski profesi mereka menyangkut kepentingan publik dan demokrasi. (B/ST)

Laporan: Bambang Sutrisno

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI


  • Bagikan