SULTRATOP.COM, KENDARI – Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran kembali menjadi topik hangat dalam diskusi publik dan politik di Indonesia, tak terkecuali di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra).
RUU ini dianggap sebagai upaya pemerintah untuk memperbarui regulasi yang sudah usang, namun di sisi lain, sejumlah pihak khawatir perubahan ini bisa menjadi ancaman bagi kebebasan informasi yang disampaikan ataupun diperoleh masyarakat.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Ari Setiadi dalam keterangan resminya di laman Kominfo.go.id menyatakan, keberadaan UU Penyiaran telah lebih dari 20 tahun sehingga perlu mengadopsi perkembangan teknologi baru.
“Revisi UU Penyiaran ini kan bentuk dari penyesuaian zaman. Ketika undang-undang itu diluncurkan pada 2002, belum ada yang namanya Facebook, Instagram, TikTok, dan sebagainya. Jadi, cara masyarakat mengonsumsi media siaran turut berubah,” ungkapnya.
Namun, tidak semua pihak setuju dengan pandangan tersebut. Sejumlah organisasi media di Sultra seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kendari, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sultra dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Sultra maupun pegiat media sosial serta sejumlah organisasi masyarakat sipil mengungkapkan kekhawatiran mereka.
RUU ini dianggap berpotensi mengekang kebebasan pers dan membatasi ruang gerak media independen serta kebebasan masyarakat mengekspresikan dirinya melalui media sosial.
“Ada beberapa pasal yang sangat berpotensi digunakan untuk mengekang kebebasan media. Kita harus waspada agar regulasi baru ini tidak menjadi alat sensor,” kata Ketua AJI Kendari, Nursadah.
Dalam diskusi publik Koalisi Masyarakat Sipil yang digelar di salah satu warkop di Kota Kendari pada Sabtu (8/6/2024), Praktisi Hukum Aqidatul mengungkapkan, tujuan hukum dari UU diciptakan tidak lain untuk mengatur dan menciptakan keadilan bagi masyarakat. Kata dia, hukum semestinya dibuat dalam melindungi HAM.
“Rakyat harusnya diminta pendapatnya untuk mengisi UU penyiaran ini. Draf RUU penyiaran ini kami nilai berpotensi melanggar HAM. Di dalam draf RUU saya melihat adalah UU kolonial bagi saya, karena hak-hak masyarakat akan diberangus,” tuturnya.
Aqidatul juga menyayangkan pembatasan liputan investigasi dalam draf RUU penyiaran. Ia menganggap bahwa investigasi adalah salah satu metode untuk mengulik atau membongkar kebenaran suatu peristiwa.
Ia mencontohkan investigasi Tempo terkait kasus meninggalnya Arkeolog Lambang Babar Purnomo yang tewas di selokan jalan lingkar luar utara Yogyakarta. Dalam investigasi Tempo dikategorikan sebagian pembunuhan, sementara tafsir penyidik dikatakan sebagai kematian biasa.
“Ini kan sama dengan menghilangkan hak-hak asasi korban. Yang kemudian dalam tafsir penguasa itu adalah mati karena kecelakaan kemudian dalam hasil investigasi pers kemudian berbeda. Itulah kenapa kami menganggap pasal 50 B (2) huruf C ini bertentangan dengan nalar sehat, tujuan hukum, dan HAM,” tambah Aqidatul.
Mantan Ketua dan Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sultra periode 2005-2007, M. Aswan Zanynu mengatakan, RUU penyiaran ini telah lama digulirkan. Pihaknya menilai bahwa rancangan tersebut merupakan UU rancu. Pasalnya, di satu sisi UU itu memberi ruang pada komisi penyiaran, di sisi lain dibatasi dan diberi kewenangan itu kepada Kementerian Informasi dan Komunikasi.
“Jadi sebenarnya, mimpi teman-teman waktu itu adalah bagaimana mengembalikan marwah komisi penyiaran untuk mewakili kepentingan publik. Singkat cerita, ini tidak terjadi. Sampai saya pergi sekolah di Universitas Indonesia (UI), teman-teman dosen UI mengajukan lagi RUU penyiaran ini tapi tidak ada sedikit pun memberikan ruang kepada pemerintah. Justru sebaliknya, memberi lebih kepada kepentingan publik,” tutur Aswan.
Akademisi Universitas Halu Oleo (UHO) itu mengaku termasuk orang yang sangat kaget dengan munculnya RUU Penyiaran saat ini. Pasalnya, bukan seperti ini mimpi hadirnya RUU Penyiaran. Namun di sisi lain, ia juga tidak kaget karena 10 tahun terakhir produk perundang-undangan sudah menjadi sarat dengan kepentingan politik seperti UU Ombudsman, UU KPK, Ombudsman Law, dan lainnya.
” Apalagi sekarang sudah ada RUU TNI, RUU Polri. Saya kadang berpikir ya kita kembali ke jayanya Suharto lagi kalau begini,” ujarnya.
Salah satu penggiat media sosial di Sultra, Ilham Bagiro juga menambahkan setelah melihat pasal-pasal dalam RUU Penyiaran itu, ada beberapa aturan-aturan yang akan saling tumpang tindih dengan aturan-aturan yang sudah ada. Misalnya, UU ITE, UU Perlindungan data pribadi, UU Pers, dan UU Telekomunikasi.
“Bagi pengguna media sosial bagi saya dipaksa pada pasal 34 huruf f bahwa penyelenggara platform digital atau penggiat media sosial wajib diversifikasi kontennya sebelum diposting,” ungkapnya.
Kata Ilham, itu adalah sesuatu yang mustahil dilakukan mengingat penggiat media sosial di Indonesia adalah salah satu terbanyak di dunia. Seperti Tiktok, saat ini penggunanya kurang lebih 126 juta pengguna aktif di Indonesia. Belum lagi media sosial lain seperti FB, Instagram, Telegram, dan lainnya.
“Meskipun by sistem, pasti akan banyak kendala. Entah itu mungkin soal anggaran, soal tim yang akan dibuat nanti, dan seperti apa ke depannya sistem ini akan berlangsung,” tambahnya.
Terkait verifikasi konten, Ilham menyebut masing-masing media sosial telah memiliki peraturan sendiri. Ia kembali mencontohkan Tiktok yang menjunjung tinggi pedoman komunitas. Jika memosting konten yang berbau kekerasan atau lainnya yang melanggar panduan maka akan diperingati.
Menurutnya, sudah sangat jelas bahwa platform media sosial membuat batasan-batasan aturan yang tidak boleh ditampilkan dalam media sosial tersebut. Dengan adanya UU Penyiaran, ia menyebut akan membuat konten kreator akan malas untuk membuat konten karena untuk memproduksi sebuah konten butuh waktu yang tidak singkat, terlebih harus menunggu verifikasi yang tentunya dalam sehari bisa sampai berjuta-juta konten yang masuk.
Perdebatan tentang RUU Penyiaran ini menunjukkan betapa pentingnya regulasi yang seimbang antara kebutuhan akan modernisasi dan perlindungan kebebasan informasi.
Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan semua masukan dari berbagai pihak sebelum mengambil keputusan akhir. Apakah RUU Penyiaran ini akan menjadi regenerasi hukum penyiaran yang dibutuhkan atau malah menjadi ancaman bagi kebebasan informasi.
Sebagai informasi, RUU tentang perubahan kedua atas UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran telah dibahas beberapa waktu lalu di DPR RI. Namun, terdapat pasal-pasal yang dinilai kontroversial.
Salah satu poin kontroversi adalah adanya pelarangan penayangan jurnalistik investigasi pada Pasal 50B Ayat 2 huruf c. Selain itu, ada juga poin kontroversial pada Pasal 50B Ayat 2 huruf k tentang pelarangan penayangan yang mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik. Poin tersebut dinilai kontroversial karena mengandung makna yang multitafsir. (—)
Kontributor: Ismu Samadhani