SULTRATOP.COM, KONSEL – Langkah Bupati Konawe Selatan (Konsel) Irham Kalenggo menghentikan sementara aktivitas PT Marketindo Selaras (MS) mendapat dukungan dari Pusat Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia (Puspaham).
Langkah progresif Bupati Irham Kalenggo dalam menerbitkan Surat Keputusan Nomor 50081/2741 tertanggal 10 Juni 2025 tentang penghentian sementara aktivitas PT Marketindo Selaras, menuai apresiasi luas dari masyarakat sipil.
Keputusan bupati itu dinilai sebagai titik awal penting dalam menyelesaikan konflik agraria yang telah berlangsung lebih dari 20 tahun dan menimbulkan ketegangan antara warga dan perusahaan.
Direktur Puspaham, Kisran Makati, menilai keputusan penghentian ini bukan hanya bentuk keprihatinan atas jatuhnya korban dalam eskalasi konflik di lapangan, tetapi juga sinyal keberpihakan awal pada warga yang selama ini mempertahankan tanah dan ruang hidup mereka dari ekspansi korporasi.
Meski demikian, karena sifatnya yang masih sementara, penghentian aktivitas ini perlu dikawal dengan serius agar tidak berhenti sebagai simbol politik sesaat. Dalam siaran pernyataannya pada Sabtu (14/6/2025), Kisran menekankan sejumlah hal penting yang perlu diperhatikan bersama.
Tiga Langkah yang Patut Diapresiasi
Pertama, respons cepat dari Bupati dalam menyikapi ketegangan dan kekerasan yang terjadi di lapangan dianggap sebagai tindakan tepat yang menunjukkan kepemimpinan yang hadir di tengah konflik.
Kedua, pendekatan damai yang ditempuh pemerintah, menghindari tindakan represif, memberi ruang bagi penyelesaian non-kekerasan yang manusiawi dan bermartabat.
Ketiga, instruksi agar dilakukan koordinasi multipihak membuka peluang terciptanya dialog yang lebih inklusif, melibatkan desa, kecamatan, aparat, serta pihak perusahaan.
Sejumlah Hal Perlu Diwaspadai
Kisran Makati, yang merupakan warga Konsel ini, mengingatkan bahwa penghentian ini masih bersifat sementara dan berisiko dibuka kembali tanpa menyentuh akar konflik yang sesungguhnya. Salah satu yang paling krusial adalah dugaan bahwa PT Marketindo Selaras belum mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) maupun Hak Guna Usaha (HGU) yang sah.
Selain itu, lanjut Kisran, sejarah hukum perusahaan ini pun perlu digarisbawahi. PT Marketindo Selaras menguasai lahan yang sebelumnya dikelola oleh PT Sumber Madu Bukari (SMB) yakni perusahaan yang pada 2003 dinyatakan wanprestasi setelah gagal membangun pabrik gula dan perkebunan tebu. Secara tidak lazim, lahan tersebut kemudian dialihkan ke PT BMP dan akhirnya ke PT MS, yang secara sepihak mengganti komoditas dari tebu menjadi sawit, diduga tanpa melalui prosedur yang sah.

Kisran Makati juga menyoroti dugaan bahwa perusahaan memanfaatkan warga sebagai “tameng sosial”, yang memperkeruh konflik horizontal dan berisiko menutupi inti persoalan yang sebenarnya adalah konflik vertikal antara warga dan korporasi.
Lebih dari itu, penyelesaian hukum yang hanya menyasar pelaku lapangan tanpa menyentuh aktor struktural, baik dari kalangan korporasi maupun birokrat pemberi izin bermasalah, dikhawatirkan hanya akan memperpanjang siklus ketidakadilan.
Lima Poin yang Harus Dikawal Bersama
Lebih lanjut Kisran menegaskan lima poin utama yang harus dikawal bersama:
- Audit legalitas menyeluruh atas izin dan status PT MS, termasuk menelusuri rantai penguasaan lahan dari PT SMB ke PT BMP hingga PT MS.
- Pemulihan hak atas tanah warga terdampak dan korban kekerasan, baik secara fisik maupun struktural.
- Transparansi proses verifikasi, yang wajib melibatkan warga terdampak, pemerintah desa, dan organisasi masyarakat sipil.
- Penegakan hukum secara tegas jika terbukti perusahaan beroperasi tanpa izin yang sah.
- Reformasi tata kelola agraria di Konawe Selatan, termasuk evaluasi menyeluruh atas semua izin perkebunan yang pernah dikeluarkan.
Tiga Rekomendasi Strategis
Untuk memastikan penyelesaian konflik berjalan secara adil dan berkelanjutan, Puspaham mendorong:
- Pembentukan Tim Terpadu Penyelesaian Konflik Agraria yang independen dan inklusif.
- Pendokumentasian sejarah konflik secara sistematis sebagai basis argumen hukum dan advokasi kebijakan publik.
- Pemantauan partisipatif yang melibatkan warga dan organisasi masyarakat sipil secara aktif.
“Kasus PT MS bukan semata soal sengketa lahan, tetapi ujian nyata atas keberpihakan kita: apakah pada masyarakat yang menjaga tanah dan hidupnya, atau pada korporasi yang beroperasi dengan melanggar hukum,” tegas pernyataan Kisran Makati.
Secara kelembagaan, Puspaham menyatakan siap berkontribusi aktif dalam proses penyelesaian yang adil, transparan, dan bermartabat demi keadilan agraria yang sesungguhnya di Konawe Selatan.
Konflik Pernah Dibahas di DPRD
Konflik lahan di Kecamatan Angata telah lama menjadi polemik. Warga setempat menolak klaim kepemilikan lahan oleh PT Marketindo Selaras, yang dinilai mengabaikan hak masyarakat. Menanggapi polemik ini, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara pernah mewacanakan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) guna menelusuri persoalan tersebut.
DPRD Sultra menggelar rapat dengar pendapat (RDP) pada Selasa (25/2/2025) untuk mencari titik terang atas sengketa ini. RDP tersebut berlangsung panas dengan perdebatan antara masyarakat lokal dan pihak PT Marketindo Selaras yang masing-masing mengklaim hak kepemilikan lahan.
Ketua Konsorsium Masyarakat Petani Angata Konsel (Kompak), Tutun, mengungkapkan bahwa konflik lahan ini sudah berlangsung sejak 1990-an akibat aktivitas PT Sumber Madu Bukari (SMB).
“Kami sudah mempersoalkan ini selama 30 tahun. Sejak 1996 hingga hari ini belum ada solusi yang berpihak pada masyarakat,” kata Tutun.
Menurutnya, perusahaan sebelumnya, PT SMB, meninggalkan berbagai permasalahan, seperti ganti rugi tanaman tumbuh dan harga tanah masyarakat. Kini, PT MS datang tanpa menyelesaikan masalah tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan, kenapa PT Marketindo Selaras tiba-tiba datang dan menguasai lahan yang bermasalah sejak PT SMB?” ujarnya.
Sementara itu, Humas PT Marketindo Selaras, Sartin, menegaskan bahwa tanah yang mereka ukur berada di luar kawasan reboisasi seluas 486,2 hektare di Desa Motaha dan sudah dibayar PT SMB sebelumnya.
“Jika masalah ini terus berlanjut, maka dokumen asli lahan akan kami buktikan di pengadilan,” katanya.
Di sisi lain, muncul dugaan adanya pengukuran tanah secara sembunyi-sembunyi oleh oknum Badan Pertanahan Nasional (BPN) Konsel. Namun, Kasi Pengadaan Tanah dan Pengembangan BPN Konsel, Taufik Tangkin, mengaku tidak mengetahui hal tersebut.
“Terkait pengukuran secara diam-diam, kami juga tidak tahu,” ucapnya. (===)