SULTRATOP.COM – Penyedap rasa Monosodium Glutamat (MSG) adalah penguat rasa yang telah digunakan secara luas selama kurang lebih 100 tahun. Dalam masyarakat Indonesia, MSG biasa disebut micin.
Saking familiarnya kata micin, generasi yang lahir di atas tahun 2010 kerap mendapat julukan generasi micin karena terlalu banyak mengkonsumsi bubuk kristal berwarna putih ini. Anak-anak biasa mengkonsumsi bahan ini dengan menjilatinya ataupun kebanyakan bahan makan mereka mengandung micin.
Selama bertahun-tahun, micin atau MSG ini dipandang sebagai bahan yang tidak baik bagi kesehatan dan membuat generasi micin bodoh karena otak mereka dibuat tumpul oleh micin. MSG telah dikaitkan dengan obesitas, gangguan metabolisme, dan toksisitas otak.
Namun, penelitian yang lebih baru mempertanyakan keakuratan efek merugikan MSG pada kesehatan manusia. Terdapat perbedaan pandangan penelitian yang lebih lama dengan yang terbaru saat tentang efek MSG bagi kesehatan. Berikut ini penjelaskan lengkapnya dilansir dari laman Healthline.
Asal Usul Anggapan MSG Berbahaya
MSG mendapatkan reputasi buruknya pada tahun 1960-an ketika dokter Cina-Amerika Robert Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine. Kwok menjelaskan bahwa dirinya jatuh sakit setelah mengkonsumsi makanan Cina.
Dia menulis bahwa dia yakin gejalanya bisa diakibatkan oleh konsumsi alkohol, sodium, atau MSG. Hal ini memicu banyak informasi yang salah tentang MSG, yang kemungkinan besar terkait dengan bias terhadap imigran Cina dan masakan mereka.
Surat tersebut mengarah pada penunjukan gejala Kwok sebagai “sindrom restoran Cina”, yang kemudian menjadi “kompleks gejala MSG”. Belakangan, banyak penelitian mendukung reputasi buruk MSG, menyatakan bahwa aditif tersebut sangat beracun.
Namun, bukti saat ini mempertanyakan keakuratan penelitian sebelumnya karena beberapa alasan yakni: kurangnya kelompok kontrol yang memadai; ukuran sampel kecil; kelemahan metodologis; dan kurangnya ketepatan dosis.
Saat ini otoritas kesehatan seperti FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA), Food and Drug Administration (FDA), dan European Food Safety Association (EFSA) menganggap MSG secara umum aman untuk konsumsi. Mereka juga telah menentukan asupan harian yang dapat diterima sebesar 14 mg per pon (30 mg per kilogram) berat badan per hari.
Efek MSG bagi Otak
Glutamat memainkan banyak peran penting dalam fungsi otak. Zat ini bertindak sebagai neurotransmitter yakni zat kimia yang merangsang sel saraf untuk mengirimkan sinyal.
Beberapa penelitian mengklaim bahwa MSG dapat menyebabkan toksisitas otak dengan menyebabkan kadar glutamat yang berlebihan di otak merangsang sel saraf secara berlebihan, yang mengakibatkan kematian sel.
Namun, glutamat makanan kemungkinan besar tidak banyak berpengaruh pada otak Anda, karena hampir tidak ada glutamat yang berpindah dari usus ke dalam darah atau melewati penghalang otak.
Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa setelah dicerna, MSG dimetabolisme sepenuhnya di usus. Dari sana, ia berfungsi sebagai sumber energi, diubah menjadi asam amino lain, atau digunakan dalam produksi berbagai senyawa bioaktif.
Secara keseluruhan, tidak ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa MSG mengubah kimia otak saat dikonsumsi dalam jumlah normal.
Kemungkinan Ada Orang Sensitif MSG
Beberapa orang mungkin mengalami efek samping dari konsumsi MSG karena kondisi yang disebut MSG Symptom Complex (MSC). Hal ini diperkirakan mempengaruhi kurang dari 1 persen populasi manusia.
MSC ditandai dengan gejala yang mirip dengan yang dijelaskan oleh Dr. Kwok dalam suratnya. Itu termasuk lemas, kemerahan, pusing, sakit kepala, mati rasa, otot tegang, kesulitan bernapas, dan bahkan kehilangan kesadaran.
Dosis ambang yang menyebabkan gejala jangka pendek dan ringan pada orang yang sensitif tampaknya adalah 3 atau lebih gram MSG tanpa makanan.
Perlu diingat, bahwa dosis 3 gram adalah dosis yang tinggi. Satu porsi khas makanan yang diperkaya MSG mengandung kurang dari setengah gram aditif, jadi sangat tidak mungkin mengonsumsi 3 gram sekaligus. (===)