SULTRATOP.COM, KENDARI – Pengamat politik Sulawesi Tenggara (Sultra) Najib Husain mengatakan, menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 konstelasi politik di Sultra semakin hangat, namun masih tetap dalam situasi yang kondusif.
Ia melihat hingga saat ini minim akan terjadinya gesekan pada masyarakat. Hal tersebut karena kompetisi Pemilu 2024 jauh lebih ketat dibanding 2019. Pada 2024, ada 3 pasang calon presiden (capres) sehingga pertarungan sesungguhnya lebih banyak di media sosial (medsos) dibanding di lapangan.
“Kalau di lapangan saya lihat kondisinya lebih adem ayem. Tapi di medsos baik di Facebook, Twiter, Instagram, Tiktok, maupun WA group, kondisinya cenderung memanas suasananya antara satu pendukung dengan pendukung yang lain,” ungkapnya saat dihubungi, Senin (12/2/2024).
Ketua Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan FISIP UHO itu mengungkapkan, kekhawatiran utama saat ini adalah kesiapan penyelenggara pemilu utamanya badan adhoc KPU, mengingat adanya tragedi 5 tahun yang lalu bahwa di Sultra ada 6 orang yang meninggal dan sekitar 600 orang sakit.
Di sisi lain, pada Pemilu 2024 ini untuk pertama kalinya perhitungan suara sudah menggunakan aplikasi Sirekap. Menurut Najib, aplikasi tersebut rawan karena belum familiar dengan KPPS, sehingga jika tidak diantisipasi satu atau dua hari ini sebelum Pemilu 14 Februari 2024 maka bisa menjadi kendala besar di setiap TPS.
Kemudian, persoalan jaringan yang belum merata di seluruh wilayah Sultra. Di beberapa tempat, jaringan kondisinya ada yang tidak stabil dan ada yang masih blank spot atau tidak ada jaringan sama sekali.
Najib menyebut bahwa berdasarkan catatan KPU Sultra, wilayah blank spot di Sultra masih ada pada sekitar 300-an TPS. Sehingga, penggunaan aplikasi sebagai alat bantu KPU itu menimbulkan kerawanan baru terhadap penyelenggaraan pesta demokrasi 2024, terlebih belum dikenal baik oleh badan adhoc.
“ Jadi, masih merupakan barang baru untuk mereka. Yang seharusnya, penggunaan alat bantu ini perlu disosialisasikan 1 tahun sebelum pelaksanaan pemilu. Malahan kemarin saya lihat tidak ada sosialisasi. Teman-teman langsung dibimtek, harusnya ada sosialisasi dulu. Di bimteknya pun itu sudah masuk 3 hari terakhir kampanye, harusnya itu bisa diantisipasi lebih cepat. Jadi aplikasi itu betul-betul dikenal dan diaplikasikan KPPS,” tuturnya.
Kata Najib, salah satu peluang terjadinya sengketa pemilu adalah pada persoalan perhitungan hasil. Ia melihat salah satu kelemahan Sirekap yaitu tidak menampilkan C1 hasil, namun hanya dalam bentuk diagram. Berbeda dengan 2019 yang bisa langsung dilihat hasil rekapitulasi C1 hasilnya.
“Sangat besar peluangnya terjadi kecurangan di situ. Karena masyarakat tidak diberikan ruang untuk berpartisipasi dalam pengawalan suara-suara pemilih,” ujarnya.
Meskipun aplikasi ini telah digunakan untuk seluruh wilayah Indonesia, Najib menilai bahwa di situlah kelemahannya. Menurut dia, seharusnya tidak semua wilayah bisa menggunakan aplikasi seperti itu.
Jadi, ada wilayah tertentu yang seharusnya diberikan perlakuan tertentu, harus ada afirmatif action yang dilakukan oleh KPU. Menurut Najib, penerapan aplikasi itu memiliki niat yang bagus, tetapi kurang lama dalam pengenalannya kepada pengguna. (—–)
Kontributor: M1
Editor: Ilham Surahmin