SULTRATOP.COM – Langkah pertama yang diambil di Desa Tinukari—sebuah desa sunyi di kaki Gunung Mekongga—menjadi awal perjalanan yang penuh harapan dan tantangan. Bagi para pendaki, menaklukkan puncak Mekongga adalah lebih dari sekadar tujuan fisik; ia adalah ambisi yang melambung di hati mereka, simbol keberanian yang menjulang tinggi di atas Sulawesi Tenggara (Sultra).
Dengan ketinggian 2.620 meter, “Atap” Sulawesi Tenggara ini tak hanya menjanjikan pemandangan spektakuler, tapi juga menyimpan medan terjal dan hambatan yang hanya bisa dilalui dengan tekad kuat.
Setiap langkah, rintangan demi rintangan telah menanti. Pendaki lokal, Isfan dan timnya memulai perjalanan ini dengan persiapan matang selama sebulan penuh—membawa peralatan, logistik, dan tekad yang kokoh.
Mereka tahu, perjalanan ini bukan sekadar kekuatan fisik. Sungai berarus deras, hutan yang pekat, dan dingin yang menusuk tulang adalah sekadar permulaan dari ujian yang menghadang. Pos demi pos menjadi saksi perjuangan mereka, jalur yang menyempit dan misterius semakin menantang, seolah setiap langkah adalah misteri yang harus dipecahkan dalam sunyi.
Impian mencapai puncak tak hanya soal menaklukkan ketinggian. Mereka membayangkan menyentuh batuan karst di puncak Mosero-sero, melihat bunga edelweis yang abadi di celah-celah bebatuan, dan menyaksikan elang putih membubung di atas kepala.
Setiap pos memberikan energi baru, setiap langkah berat terasa semakin ringan dengan tujuan yang semakin dekat. Bagi mereka, ini bukan sekadar pendakian, melainkan perjalanan hidup, sebuah petualangan yang akan dikenang seumur hidup.
Setibanya di kaki gunung, perjalanan dimulai dengan jalur yang melewati perkebunan cokelat dan cengkeh milik warga, yang membawa mereka hingga ke Pos 2. Dari sinilah hutan Mekongga menyambut, memberikan keteduhan yang nyaris mistis, membungkus jalur yang kian sempit.
Di antara Pos 2 hingga Pos 4, jalur yang panjang dan sunyi menjadi tantangan tersendiri. Setiap anggota tim dituntut untuk bertahan dalam kebisuan hutan yang menyimpan cerita alam liar. Di Pos 6, vegetasi berubah menjadi hutan lumut yang diselimuti dingin, sebuah penanda bahwa mereka sudah mendekati puncak.
Pos 8, yang dikenal sebagai “pos oase,” menjadi tempat terakhir untuk beristirahat. Di sini, sumber air terakhir menyuguhkan kesegaran di tengah suhu malam yang turun hingga 9 derajat Celcius.
“Saat itu, suhu benar-benar menusuk, kami hampir tidak bisa bergerak di luar tenda,” tutur Isfan, mengenang momen-momen istirahat di tengah gigitan dingin yang merasuk.
Perjalanan dari Pos 8 menuju puncak adalah ujian mental dan fisik yang sebenarnya. Medan berbatu yang licin dan jalur penuh jejak anoa memperlihatkan sisa-sisa kehadiran hewan endemik Sulawesi ini, meski sayangnya tak satu pun dari mereka sempat melihatnya langsung.
“Dinginnya terasa menembus kulit, kami juga harus hati-hati dengan hutan pakis yang rimbun dan pacat yang seringkali lengket di kulit,” cerita Isfan.
Tantangan makin berat saat mereka harus menyeberangi empat sungai berarus deras di awal pendakian, di mana air bisa menjadi ancaman besar pada musim hujan. Meski ada jalur evakuasi yang lebih mudah, medan terjal membuat mereka memilih jalur normal.
Namun, semua lelah dan rasa takut itu terbayar ketika akhirnya mereka menjejakkan kaki di puncak Gunung Mekongga. Di sana, hamparan batuan karst menjulang megah, bunga edelweis yang langka menyembul di celah-celah bebatuan, memberikan sentuhan abadi pada alam yang seolah tak tersentuh.
“Saat kami tiba, elang putih terbang di atas kami, dan pemandangannya begitu luar biasa. Hanya sedikit awan yang menutupi, jadi kita bisa melihat luasnya panorama dari puncak,” tutur Isfan, suaranya penuh kagum.
Berdiri di atas puncak Mekongga adalah perayaan pribadi bagi setiap anggota tim. Menyaksikan hamparan alam Sulawesi Tenggara dari ketinggian membuat mereka menyadari bahwa setiap rintangan yang dihadapi bukanlah halangan, melainkan bagian dari perjalanan berharga yang membuat momen itu begitu istimewa.
Setelah menikmati pemandangan dan mengabadikan momen di atas puncak, Isfan dan timnya bersiap untuk perjalanan turun, meninggalkan “Atap Sultra” dengan kenangan yang akan mereka simpan seumur hidup.
Gunung Mekongga telah memberi mereka pengalaman yang tak ternilai—sebuah petualangan ekstrem yang terukir dalam cerita hidup mereka, inspirasi bagi siapa pun yang ingin merasakan tantangan di jantung alam liar Sulawesi.
Akses ke Tinukari
Desa Tinukari dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat. Dari Kota Kendari, ibu kota Sultra, perjalanan kurang dari enam jam sementara dari Kabupaten Kolaka sekitar dua jam. Dari Lasusua, ibu kota Kolaka Utara hanya membutuhkan waktu sekitar 45 menit saja.
Terkait akses, walaupun perjalanan dari Kota Kendari terbilang lama, namun ada beberapa destinasi yang bisa menjadi alternatif, sebelum ke Tinukari. Sebut saja Sungai Tamborasi dan Pantai Indah Kapu.
Untuk fasilitas di Desa Tinukari juga sudah cukup memadai. Terdapat area camp bagi yang ingin mendirikan tenda, ada gazebo dan homestay. Juga di sini kita bisa menjajal keseruan arung jeram Tinukari. (===)
Reporter: Tim Redaksi
Editor: Jumriati