SULTRATOP.COM, WAKATOBI — Di tengah pesona laut biru dan terumbu karang yang mendunia, Wakatobi menyimpan warisan lain yang tak kalah memesona: Benteng Keraton Liya.
Secara administratif benteng ini berada di Desa Liya Togo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi.
Benteng ini bukan hanya saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat Liya Togo, tetapi juga pusat adat, budaya, dan cerita magis yang masih hidup hingga kini.
Di balik tumpukan batu karang yang tersusun tanpa semen, terpatri kisah tentang pelarian Majapahit, tradisi posepa’a, hingga pemimpin yang dipilih bukan karena garis darah, melainkan dengan cara musyawarah.
Benteng Keraton Liya berdiri kokoh, seolah menantang waktu. Dari kejauhan, tumpukan batu karang setinggi tiga hingga lima meter itu mungkin tampak seperti dinding tua yang diam. Namun, saat seseorang mendekat dan menapaki pijakannya, terasa betapa kuat dan cermat perancangannya.
Setiap batu tampak diletakkan dengan ketelitian yang luar biasa. Bukan sekadar susunan, tapi sebuah strategi bertahan.
Dari atas benteng, terbentang pandangan luas ke segala penjuru: utara, timur, selatan, dan barat. Hamparan laut di kejauhan terlihat jelas. Posisi ini membuat Benteng Liya sangat ideal sebagai titik pantau dan pertahanan di masa lampau. Setiap pergerakan musuh dari arah mana pun dapat dengan mudah terdeteksi.
“Benteng ini sudah ada sejak awal abad ke-12,” ujar Muhamad Riadi, salah satu pengelola wisata di Desa Liya Togo kepada Sultratop.com.
Konon, para pelarian dari Kerajaan Majapahit menjadi perintis pembangunan benteng ini, yang kemudian berkembang lebih luas.
Menariknya, benteng ini dibangun tanpa semen, hanya menggunakan tumpukan batu karang besar yang direkatkan dengan campuran bahan alami berupa putih telur dan kapur. Masyarakat Liya Togo percaya penuh bahwa benteng ini dibangun sepenuhnya oleh tangan manusia.
Sistem Pertahanan Tiga Lapis: Fungsi Budaya dan Jejak Sejarah
Dengan luas mencapai 52,9 hektare, Benteng Keraton Liya merupakan salah satu benteng terluas di Sulawesi Tenggara. Struktur pertahanannya terdiri atas tiga lapis tembok yang kini masing-masing memiliki fungsi tersendiri, mulai dari ruang budaya hingga pemukiman.
Saat ini lapis pertama biasanya digunakan untuk kegiatan budaya. Salah satu aktivitas budaya yang masih dilangsungkan adalah posepa’a, tradisi adu ketangkasan antarpemuda yang digelar setiap usai salat Idulfitri dan Iduladha.
Istilah posepa’a sendiri berasal dari bahasa lokal yang berarti “saling tendang”. Dalam tradisi ini, dua kelompok saling menendang hingga salah satu mengalah. Tradisi ini merupakan warisan dari masa ketika posepa’a menjadi seleksi prajurit benteng.
Kini, meskipun tidak lagi digelar sepanjang Ramadan seperti dahulu, posepa’a tetap menjadi tontonan khas masyarakat setelah salat hari raya, menampilkan semangat kebersamaan dan warisan sejarah yang masih hidup di balik dinding tua Benteng Liya.
Benteng ini juga dipercaya memiliki kekuatan magis. Konon, siapa pun yang memiliki ilmu hitam atau kekebalan tubuh akan kehilangan kekuatannya saat memasuki area benteng.
“Makanya, orang dulu kalau mau baku tikam, janjiannya di luar benteng,” ujar Riadi.
Lapis kedua dan ketiga dari benteng kini menjadi kawasan pemukiman warga, termasuk tempat tinggal para Meantu’u (jabatan pemimpin adat tertinggi di Liya). Hingga saat ini, sudah ada 32 Meantu’u yang pernah menjabat.
Menariknya, penentuan Meantu’u tidak bergantung pada garis keturunan. Di tengah tradisi yang kental dan struktur adat yang kuat, masyarakat Liya memegang prinsip yang demokratis untuk zamannya, siapa yang dianggap paling bijak, adil, dan mampu memimpin, maka dialah yang diangkat sebagai Meantu’u.
Saat ini, sebagian besar struktur asli Benteng Keraton Liya sulit dikenali karena beberapa bagian telah dijadikan permukiman. Namun, beberapa elemen penting masih bertahan, seperti Masjid Tua Liya yang dibangun oleh Meantu’u pertama.
Masjid tersebut bernama Masjid Mubarok yang jadi pusat penyebaran Agama Islam di kawasan Wakatobi.
“Ini boleh jadi masjid tertua di Wakatobi,” ujar Riadi.
Masjid ini berdiri dengan arsitektur khas yang serupa dengan masjid di Keraton Buton, meski atapnya berbeda dan mencerminkan gaya lokal Liya.
Di dalam benteng juga terdapat baruga sebagai balai pertemuan tradisional yang dibangin pada masa Meantu’u ke-14. Sebelum baruga itu dibangun terdapat baluara yang digunakan untuk musyawarah adat. Dahulu, baluara juga digunakan sebagai area berlatih perang oleh Meantu’u bersama para prajuritnya.
Secara historis Liya berada dalam wilayah Kesultanan Buton sebagai kadie yakni wilayah yang memiliki pemerintahan sendiri dan hukum adat yang diatur dalam “Sarana Kadie”. Namun, terdapat versi lain bahwa Liya mandiri sebagai kerajaan dan berstatus mitra Kesultanan Buton.
Pada zaman dulu, Liya memiliki otonomi yang kuat dan tak selalu tunduk pada keputusan kesultanan, bahkan bebas berhubungan dengan kerajaan lain. Menurut Riadi, banyak kebijakan adat yang ditentukan sendiri oleh para pemimpin Liya tanpa perlu restu dari Kesultanan Buton.
Saat ini, pengelolaan situs Benteng Keraton Liya berada di bawah tanggung jawab pemerintah daerah, mengingat statusnya yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya. Para pengelola lokal berperan dalam mengoordinasikan aktivitas wisata dan pelestarian.
Benteng ini juga menarik perhatian kalangan akademik. Banyak mahasiswa menjadikannya objek penelitian skripsi, dan tak sedikit wisatawan mancanegara yang datang untuk menyaksikan langsung kekayaan sejarah dan budaya yang tersimpan di balik benteng tua ini.
Kini, setelah peran militernya usai, Benteng Keraton Liya bukan sekadar susunan batu tua. Ia adalah panggung sejarah, tempat berpijaknya tradisi, mitos, dan identitas masyarakat Liya. Di antara semilir angin Laut Banda dan aroma garam dari pantai Wakatobi, benteng ini berdiri sebagai pengingat bahwa sejarah besar juga bisa lahir dari tempat yang paling sunyi.
Akses Menuju Benteng
Desa Liya Togo dapat dijangkau dalam waktu sekitar 30 menit dari Bandara Matahora maupun dari pelabuhan utama di Wangi-Wangi. Akses darat menuju desa ini cukup mudah dengan kendaraan roda dua atau empat.
Saat ini, penerbangan langsung ke Wakatobi belum tersedia. Sebagai alternatif, pengunjung dapat menggunakan kapal dari Kendari menuju Wanci, dengan tarif sekitar Rp228.000. Kapal biasanya berangkat pukul 09.00 pagi setiap hari. (Ad/ST)
Laporan: Tim Redaksi