SULTRATOP.COM, BAUBAU- Di dalam Kota Baubau, tepatnya di Kelurahan Melai, Kecamatan Murhum, berdiri sebuah situs bersejarah yang hingga kini masih kokoh menjaga jejak masa lalu: Benteng Keraton Buton, atau yang lebih dikenal dengan nama Benteng Wolio.
Kawasan ini bukan sekadar tumpukan batu tua, melainkan warisan megah dari Kesultanan Buton yang pernah berjaya di masa silam.
Benteng ini menyimpan kisah panjang tentang peradaban, politik, hingga budaya maritim yang berkembang di wilayah timur Nusantara. Didirikan di atas perbukitan, benteng ini tak hanya berfungsi sebagai benteng pertahanan, tetapi juga menjadi pusat pemerintahan, kehidupan sosial, dan spiritual masyarakat Buton tempo dulu.
Hingga kini, sisa-sisa kejayaan itu masih terasa lewat struktur bangunannya yang utuh. Salah satu yang paling menarik, di lokasi itu, tersimpan satu peristiwa penting yang melibatkan tokoh besar dari kerajaan Bone, Arung Palakka, tentang perlawanan Kerajaan Bone terhadap dominasi Kesultanan Gowa.
Dalam kawasan Keraton Buton, gua tersebut letaknya sangat strategis karena berada di bawah benteng Keraton bagian timur. Di depannya, langsung berhadapan dengan jurang yang dalam.
Lokasi itu dapat dikunjungi dengan menyusuri dinding luar benteng dari salah satu pintu benteng bernama gerbang “lawana kampebuni” (tersembunyi/pintu rahasia).
Bibir bawah gua sekitar 3 meter di atas tanah yang berada di samping jurang, dan bibir atas gua sekitar 2 meter dari permukaan tanah benteng keraton. Saat ini untuk melihat gua itu telah dibangun tangga permanen menuju bibir gua.
Saat awak Sultratop.com menyusuri dinding keraton untuk mencapai gua tersebut, tampak jurang yang curam dan perbukitan di sebelahnya. Perjalanan sekitar 5-10 menit dengan berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 300 meter dari lawana kampebuni.
Menurut penuturan pemandu wisata budaya di Keraton Buton, dulunya gua ini memiliki ruang yang panjang dan luas. Namun seiring waktu, akibat perubahan alami, ukuran gua menyusut dan kini hanya dapat menampung sekitar empat hingga lima orang dalam posisi duduk.
Kisah Pelarian Arung Palakka ke Buton
Peristiwa itu terjadi pada pertengahan abad ke-17 ketika Arung Palakka bersama para pengikutnya memberontak atas dominasi Kesultanan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin “Ayam Jantan dari Timur” terhadap Kerajaan Bone.
Ia bersama pengikutnya melarikan diri ke Buton untuk mencari perlindungan dan dukungan politik setelah pertarungan sengit dan tekanan dari pasukan Gowa. Arung Palakka bersama istrinya, Sira Daeng Talele Karaeng Ballajawa disembunyikan di gua yang berada di kawasan benteng Keraton Buton.
“Kesultanan Gowa saat itu mengutus sekitar 200 prajurit untuk mencari Arung Palakka di Buton, tapi tidak didapat. Jadi, jalan satu-satunya para prajurit ini datang bertanya pada Sultan Buton. Karena mereka tahu kalau Sultan Buton tidak mungkin berbohong,” tutur pemandu wisata budaya benteng keraton Buton, Adrian kepada Sultratop.com.

Alih-alih menunjukan tempat persembunyian Arung Palakka, Sultan Buton yang saat itu dijabat oleh Sultan Malik Siraullah malah bersumpah bahwa Arung Palakka tidak berada di atas tanah Buton. Jika ada, pulau mereka (Buton) akan ditutupi air atau tenggelam.
“Nyatanya, Arung Palakka berada di bawah tanah (gua), bukan di atas tanah,” tutur Adrian.
Di gua itu, Arung Palakka tidak hanya bersembunyi, tetapi menyusun strategi untuk kembali memerangi Kesultanan Gowa. Ada dua alasan kesultanan Buton menerima kedatangan Arung Palakka saat itu, yaitu ingin mengetahui strategi Kesultanan Gowa dan Arung Palakka masih turunan orang Buton (versi Buton).
Silsilahnya dimulai di era Sultan Murhum. Ia mengutus panglima perang Kapitalao Mokoboura untuk membantu konflik yang ada di Bone. Kapitalao itu tidak pulang ke Buton dan menikah di Bone. Salah satu turunannya adalah Arung Palakka.
Saat para prajurit Gowa meninggalkan tanah Buton, Arung Palakka diangkat menjadi raja di salah satu benteng di Buton. Tugasnya hanya satu, yaitu mengawasi kapal perdagangan. Di Buton, Arung Palakka dikenal dengan nama La Tondu yang artinya tenggelam atau menghilang dari negerinya, Kerajaan Bone.
Sayangnya, keberadaan Arung Palakka diketahui pedagang asal Gowa. Pedagang itu kemudian mengirim surat kepada Sultan Hasanuddin bahwa Sultan Buton telah berbohong. Dengan marah, Sultan Hasanuddin mengutus pasukan untuk meruntuhkan kesultanan Buton.
“Ada 3 versi. Versi Makassar, pasukan yang diutus Sultan Hasanuddin sebanyak 30 ribu pasukan. Versi Buton 20 ribu pasukan, dan versi Belanda 15.500 pasukan,” kata Adrian.
Sementara itu, pasukan yang dimiliki Buton hanya berjumlah 5 ribu prajurit yang tergabung dari pasukan Buton, Bone dan Ternate. Sementara Kesultanan Gowa juga beraliansi dengan Kerajaan Luwu dan Bima.
Perang tak terelakan pecah di selat Baubau yang saat ini dapat dipandang dari atas benteng Keraton Buton. Sementara Arung Palakka saat itu lari ke Batavia untuk meminta bantuan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Ia bersama pasukan VOC yang dipimpin oleh Spelman melakukan penyerangan dari arah belakang, sehingga pasukan Gowa, Luwu dan Bima terkepung dan bisa dikalahkan saat itu.
Para prajurit yang kalah perang ditawan di sebuah pulau yang saat ini disebut sebagai pulau Makassar yang juga bisa dilihat dari atas benteng Keraton Buton. Spelman menginginkan para tawanan dihukum pancung, namun Sultan Buton mengubah keputusan dengan memberi makanan pada tawanan, pakaian dan dibuatkan kapal agar mereka kembali ke asalnya. Sebagian tawanan pulang dan sebagian lagi memilih menetap di Buton.
Di kemudian hari, Arung Palakka dikenal sebagai Raja Bone yang paling fenomenal dan pahlawan Bugis karena berhasil memerdekakan Kerajaan Bone dari cengkeraman Kesultanan Gowa.
Jejak Arung Palakka di Keraton Buton bukan hanya menjadi bagian penting dari narasi sejarah Nusantara, tetapi juga membuka jendela bagi generasi masa kini untuk memahami dinamika politik dan persekutuan antar kerajaan di masa lalu.
Kehadirannya di Buton mencerminkan peran penting Kesultanan Buton sebagai tempat perlindungan dan strategi dalam perjuangan melawan dominasi Gowa.
Kini, peninggalan sejarah itu menjadi bagian tak terpisahkan dari kekayaan budaya dan warisan lokal yang bisa dinikmati melalui wisata sejarah di Keraton Buton. Bagi para wisatawan, menyusuri kompleks keraton sambil membayangkan langkah-langkah Arung Palakka di tanah pengasingan ini adalah sebuah perjalanan yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga menambah wawasan tentang pentingnya Buton dalam peta sejarah Indonesia timur.
Cerita Sejarah Menarik Perhatian Pengunjung
Setiap sudut Keraton Buton seolah berbisik tentang masa lalu: kisah-kisah kerajaan yang terpatri dalam dinding batu tuanya. Dari sekian banyak titik yang menyimpan kisah sejarah, satu titik yang paling banyak menyedot perhatian adalah gua persembunyian Arung Palakka.
Bagi Nawir, warga Kabupaten Muna, tempat itu bukan sekadar situs wisata. Gua tersebut adalah potongan sejarah yang selalu memanggilnya kembali.
“Saya sudah enam kali ke sini,” katanya dengan senyum, kepada Sultratop.com.
Setiap kali berkunjung ke Kota Baubau bersama keluarga, Keraton Buton selalu masuk dalam daftar tujuan wisata.
“Rasanya tidak lengkap ke Baubau kalau tidak ke sini. Apalagi kalau ada keluarga yang belum pernah datang, pasti mereka ingin diantar ke Keraton Buton,” ujarnya.
Karena sudah begitu sering mengunjungi Keraton Buton, Nawir kini seperti menjadi pemandu dadakan bagi keluarganya. Ia hafal jalur menuju gua persembunyian, tahu cerita di balik pintu rahasia lawana kampebuni, hingga paham letak tangga yang membawa mereka ke bibir gua di sisi tebing.
Dengan antusias, ia selalu mengulang kisah bagaimana Arung Palakka pernah disembunyikan di gua itu oleh Sultan Buton demi melindunginya dari kejaran pasukan Gowa.
Meski bentuk guanya tidak besar dan tidak megah seperti gua lainnya yang jadi destinasi wisata, justru kisah yang menyelimutinya yang membuat tempat ini istimewa.
“Kalau lihat fisiknya mungkin biasa saja. Tapi ketika tahu siapa yang pernah bersembunyi di sini, dan bagaimana strategi perangnya dirancang dari tempat sempit ini, jadi lain rasanya,” ujar Nawir.
Menurutnya, kerabatnya pun selalu tertarik mendengarkan cerita itu, bahkan meski harus berjalan kaki menyusuri benteng dan melewati jalur yang agak terjal.
Bagi Nawir, perjalanan ke gua Arung Palakka bukan hanya urusan rekreasi, melainkan juga upaya menjaga hubungan dengan masa lalu. Sekecil dan sesederhana apa pun bentuk guanya, yang paling penting adalah saksi dari sejarah besar yang tidak boleh dilupakan. (Ad/ST)
Laporan: Tim Redaksi