SULTRATOP.COM, KONAWE UTARA – Di jantung hutan belantara Konawe Utara (Konut), tersembunyi sebuah dunia yang belum banyak tersentuh manusia—Karst Matarombeo. Kawasan karst yang membentang seluas 1.200 kilometer persegi ini bukan sekadar barisan tebing batu yang menjulang, tetapi juga rumah bagi gua-gua purba, jejak sejarah, dan keanekaragaman hayati yang menakjubkan. Puncaknya yang menjulang di ketinggian 1.535 meter di atas permukaan laut (MDPL) menjadi saksi bisu para petualang yang datang untuk menaklukkan tantangannya.
Pada Agustus 2024, lima petualang pemberani memulai ekspedisi mereka ke Karst Matarombeo. Dipimpin oleh Sultan Hasanuddin, anggota Mapala Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra), tim ini terdiri atas dua peneliti perempuan asal Amerika dan Prancis, Diego, serta Cydney Sea, bersama seorang anggota lainnya, Shadus Satriani. Mereka memulai perjalanan penuh tantangan dari Desa Sabandete, Konawe Utara. Dengan perbekalan dan tekad kuat, tim ini menembus perkebunan kelapa sawit di tengah malam, berjalan selama berjam-jam menuju gua-gua tersembunyi di dalam kawasan karst ini.
Hari pertama mereka lalui dengan perjalanan panjang menuju lokasi istirahat pertama. Keesokan paginya, mereka memulai eksplorasi gua-gua purba. Gua Monkey Hollow menjadi salah satu penemuan menarik dalam ekspedisi ini. Gua tersebut memiliki mulut kecil yang tersembunyi, tetapi di dalamnya terdapat ornamen batu karst yang memukau. Namun, keindahan ini harus dibayar dengan keberanian, karena gua itu dihuni oleh kalajengking dan laba-laba gua yang menambah tantangan perjalanan.
Sultan, yang ditugaskan masuk pertama ke dalam gua, memimpin tim untuk mengeksplorasi setiap sudutnya. Dengan bantuan sistem anchor untuk tali-temali, mereka menyusuri kegelapan yang pekat, hanya diterangi oleh lampu senter di helm mereka. Hampir satu jam berlalu sebelum tim keluar dengan catatan dan dokumentasi yang berharga tentang bentang alam ini.
Setelah menyelesaikan eksplorasi gua, tim melanjutkan perjalanan menuju puncak Karst Matarombeo. Medan yang sulit, tebing batu yang terjal, serta minimnya sumber air menjadi ujian bagi fisik dan mental mereka. Dalam perjalanan ini, mereka mendirikan empat lokasi perkemahan untuk beristirahat, dengan jalur menuju puncak yang didominasi hutan lumut.
Di tengah perjalanan, mereka menemukan jejak anoa, kotoran satwa liar, hingga tulang-tulang yang diduga milik babi hutan atau anoa. Flora khas seperti kantong semar dan buah-buahan hutan turut menambah daya tarik sepanjang perjalanan.
Setelah empat hari pendakian yang melelahkan, mereka akhirnya tiba di puncak Matarombeo. Dari ketinggian ini, hamparan alam Konawe Utara terbentang luas, memberikan pemandangan yang tak terlupakan. Namun, bagi Sultan dan timnya, keberhasilan ini bukan sekadar pencapaian pribadi, melainkan juga langkah kecil untuk mengenalkan potensi Karst Matarombeo kepada dunia.
Kawasan ini, meskipun memiliki daya tarik luar biasa, masih minim eksplorasi dan fasilitas. Sultan berharap, upaya-upaya seperti ini dapat membuka jalan bagi pelestarian dan pengembangan wisata berkelanjutan di Karst Matarombeo tanpa merusak keasriannya. Bagi mereka yang ingin menantang diri, kawasan ini adalah surga tersembunyi yang menunggu untuk dijelajahi.
Destinasi Geowisata dengan Jejak Prasejarah
Karst Matarombeo bukan hanya surga bagi para petualang, tetapi juga memiliki potensi besar untuk dikembangkan menjadi geowisata atau wisata minat khusus. Keindahan alamnya yang eksotis berpadu dengan misteri yang tersembunyi di dalam gua-gua purba, termasuk lukisan prasejarah yang ditemukan di Gua Tengkorak Matarombeo, menjadikan kawasan ini menarik perhatian para peneliti dan speleologis.
Dinas Pariwisata Sulawesi Tenggara (Dispar Sultra) telah mengarahkan kawasan Karst Matarombeo sebagai destinasi wisata minat khusus. Fokus utamanya adalah mengundang para peneliti untuk mengeksplorasi lebih jauh gua-gua yang tersebar di wilayah ini. Potensi ini, menurut Dispar Sultra, sangat besar, terutama untuk menemukan jejak sejarah, spesies endemik, atau jaringan bawah tanah yang bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.
Hingga kini, hampir tidak ada pengetahuan yang mendalam tentang Matarombeo dan sungai-sungai di sekitarnya. Namun, keterbatasan informasi ini justru menjadi daya tarik tersendiri, membuka peluang bagi penemuan baru yang dapat memperkaya ilmu pengetahuan dan sejarah kawasan tersebut. Dispar Sultra berharap eksplorasi tidak hanya berhenti pada penemuan awal, tetapi terus berlanjut untuk menguak berbagai potensi tersembunyi di balik keheningan Karst Matarombeo.
Dengan keunikan alam dan sejarahnya, Karst Matarombeo memiliki semua elemen untuk menjadi destinasi wisata unggulan bagi kalangan peneliti, pencinta alam, dan mereka yang haus akan pengalaman petualangan yang berbeda.
Akses ke Matarombeo
Untuk sampai ke Karst Matarombeo, pengunjung kebanyakan lewat Desa Padalere Utama, Kecamatan Wiwirano, Konawe Utara.
Dari Wanggudu, ibu kota Kabupaten Konawe Utara, Desa Padalere Utama berjarak 80 km dengan waktu tempuh lebih dari 2 jam. Sedangkan dari Kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara, waktu tempuh sekitar 5 jam.
Pengunjung harus menyusuri sungai dengan perahu bermesin atau warga lokal menyebutnya katinting.
Di Desa Padalere Utama, ada banyak warga yang menyediakan jasa antar jemput menuju Matarombeo. (===)
Reporter: Tim Redaksi
Editor: Jumriati