SULTRATOP.COM, KOLAKA UTARA – Kabut perlahan menyingkap wajah megah Gunung Mekongga, puncak tertinggi di Sulawesi Tenggara (Sultra) yang berdiri kokoh di jantung Kolaka Utara. Di balik keindahan alamnya yang memesona, tersimpan kisah tua tentang seekor garuda raksasa yang datang dari langit dan seorang pemuda pemberani bernama Tasahea yang rela menjadi umpan demi menyelamatkan negerinya.
Inilah gunung yang tak hanya menantang fisik para pendaki, tetapi juga menyentuh imajinasi siapa saja yang mendengarkan gaung legenda dari tanah di negeri Sorume ini.
Gunung Mekongga menjulang setinggi 2.620 meter di atas permukaan laut. Tak heran jika ia disebut sebagai “Atapnya Sultra”. Jalur pendakiannya menantang, tetapi pemandangan di sepanjang rute hingga ke puncak—yang dikenal sebagai Mosero-sero—mampu membayar segala lelah.
Mekongga bukan sekadar tempat bagi para pencinta ketinggian, tapi juga surga keanekaragaman hayati yang masih alami dan nyaris belum tersentuh.
Setiap pendaki yang menapaki jalur gunung ini akan merasakan keajaiban alam yang sulit ditemukan di tempat lain. Berdiri di atas puncaknya adalah perayaan pribadi bagi setiap orang yang berhasil menaklukkannya. Begitu pula yang dirasakan Muhammad Isfan Hamdani, seorang pendaki lokal yang pernah menjejakkan kaki di sana.
“Saat kami tiba, elang putih terbang di atas kami, dan pemandangannya begitu luar biasa. Hanya sedikit awan yang menutupi, jadi kita bisa melihat luasnya panorama dari puncak,” ujar Isfan dengan sorot mata mengenang, seolah kembali ke momen itu.
Hamparan batuan karst menyambut di atas sana, dan bunga edelweis menyembul dari celah bebatuan, menambah nuansa abadi pada lanskap yang sudah menakjubkan. Tapi keistimewaan Gunung Mekongga tak hanya pada keindahan fisiknya. Ia juga memelihara kisah turun-temurun yang mengakar dalam budaya masyarakat sekitar.
Kisah Garuda Raksasa dan Seorang Pemuda Pemberani
Dari cerita yang dihimpun Sultratop.com, dahulu kala, di sebuah negeri bernama Sorume yang kini dikenal sebagai Kolaka, warganya hidup hidup dalam damai. Tanahnya subur, hutannya lebat, dan langitnya bersih. Namun ketenteraman itu tak berlangsung lama.
Dari arah cakrawala, datanglah seekor burung raksasa yang sayapnya membentang seperti awan gelap, ialah si Kongga, demikian masyarakat kemudian menyebutnya. Burung raksasa itu bukan sembarang makhluk. Tubuhnya besar melebihi pohon tertinggi di hutan, paruhnya tajam bak tombak, dan cakarnya mampu mencengkeram seisi ladang.
Tiap kali ia mengitari langit Sorume, penduduk bersembunyi ketakutan. Hasil panen habis dicabik, ternak-ternak hilang, dan suara tangis menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ketakutan menjelma kegelisahan. Tak ada yang bisa menghentikan Kongga. Hingga suatu hari, seorang pria tua datang dari arah timur, dari negeri Solumba yang jauh. Namanya Larumbalangi, dikenal bijak dan memiliki ilmu yang bahkan dihormati oleh alam.
Larumbalangi tidak membawa senjata, hanya tongkat dan sehelai kain penutup kepala. Namun dari mulutnya mengalir petunjuk yang mengubah segalanya.
“Kongga bisa dikalahkan,” katanya, “bukan dengan kekuatan, tetapi dengan siasat”.
Ia menyarankan untuk mempersiapkan bambu tua yang diruncingkan, dilumuri racun dari tanaman hutan yang paling mematikan. Bambu-bambu itu harus ditancapkan mengelilingi padang luas, membentuk perangkap besar yang tak terlihat dari langit.
Namun strategi itu membutuhkan syarat: seseorang harus berdiri di tengah padang, menjadi umpan hidup. Tak ada senjata. Tak ada pelindung. Hanya keberanian yang bisa menyelamatkannya atau menewaskannya.
Warga terdiam. Siapa yang rela menyerahkan nyawa?
Di tengah keheningan, seorang pemuda maju. Namanya Tasahea. Tubuhnya tidak kekar, wajahnya tak sekeras batu karang, tapi matanya menyala seperti bara. Ia menawarkan diri.
“Jika negeri ini ingin bebas dari ketakutan, biarlah aku menjadi penawarnya,” ujarnya.
Hari penentuan pun tiba. Pagi itu, kabut belum sepenuhnya mengangkat diri dari tanah. Tasahea berdiri sendirian di tengah padang, dikelilingi ribuan bambu runcing yang telah diberi racun. Ia menunggu dalam diam. Langit biru tampak bersih—terlalu tenang. Tapi ketenangan itu segera pecah.
Suara kepakan sayap terdengar, seperti ribuan genderang yang dipukul bersamaan. Kongga datang. Matanya merah, paruhnya terbuka. Ia melihat mangsanya.
Dalam sekejap, garuda itu menyambar. Tapi kali ini bukan mangsanya yang runtuh, melainkan dirinya sendiri. Sayapnya tertusuk bambu runcing yang disembunyikan dalam rumput tinggi. Ia menjerit, jeritan yang mengguncang gunung dan sungai.
Dalam detik yang menentukan, Tasahea menancapkan satu bilah bambu ke dada garuda. Kongga jatuh menghantam tanah, tubuhnya mencabik hutan, dan debu membumbung ke langit.
Tempat jatuhnya burung garuda itu, kelak disebut orang sebagai Gunung Mekongga, dari nama si Kongga.
Namun cerita tidak berhenti di sana. Kemenangan itu membawa luka baru. Bangkai garuda yang begitu besar membusuk perlahan. Bau anyir menyebar. Dari tubuhnya keluar ulat-ulat yang menyerang tanaman dan menyebabkan penyakit. Hujan tak kunjung turun. Negeri Sorume yang tadinya ingin merdeka dari teror, kini dilanda kutukan.
Para tetua kembali memanggil Larumbalangi. Kali ini, ia tak datang dengan racun atau siasat. Ia duduk bersila di atas batu, menengadahkan tangan ke langit. Dengan doa yang panjang dan tulus, ia memohon agar Tuhan menurunkan hujan.
Dan hujan pun datang. Selama tujuh hari tujuh malam, hujan terus menerus. Air membanjiri daratan, membawa bangkai Kongga dan ulat-ulat penyebab wabah ke dalam jurang-jurang dan sungai yang tak terjangkau manusia.
Ketika hujan reda, tanah Sorume kembali pulih. Tumbuhan tumbuh. Binatang kembali bersuara. Dan langit tampak lebih teduh.
Kini, Gunung Mekongga berdiri anggun, diselimuti kabut, seperti menyimpan rahasia besar yang hanya bisa dibaca oleh hati yang tenang. Di mata para pendaki, ia adalah bentang alam yang menawan. Di hati masyarakat Kolaka, ia adalah pusara raksasa dan monumen keberanian.
Kisah tentang Kongga dan Tasahea terus diceritakan, dari generasi ke generasi, bukan untuk ditakuti, tapi untuk dikenang sebagai warisan tentang keberanian, kecerdikan, dan cinta pada tanah sendiri.
Akses ke Gunung Mekongga
Untuk menyusuri jejak legenda dan menaklukkan keindahan Mekongga, para pendaki biasanya memulai perjalanan dari Desa Tinukari, Kecamatan Wawo, Kabupaten Kolaka Utara. Desa ini dapat diakses dengan kendaraan roda dua maupun roda empat.
Dari Kota Kendari, perjalanan memakan waktu sekitar enam jam. Dari Kolaka sekitar dua jam, dan dari Lasusua, ibu kota Kolaka Utara, hanya sekitar 45 menit.
Meski cukup jauh dari kota besar, Desa Tinukari memiliki daya tarik sendiri. Sebelum mendaki, wisatawan dapat singgah ke Sungai Tamborasi, salah satu sungai terpendek di dunia dan Pantai Indah Kapu.
Di Tinukari sendiri, fasilitas seperti area camp, gazebo, homestay, hingga wahana arung jeram telah tersedia, menambah kenyamanan bagi siapa pun yang ingin menjelajah alam Mekongga.
Laporan: Tim Redaksi