SULTRATOP.COM, BOMBANA– Desa Tangkeno di Kecamatan Kabaena Tengah, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, dijuluki “Negeri di Atas Awan” karena fenomena kabut dan awan yang kerap menyelimuti desa ini.
Faktor munculnya fenomena itu karena letaknya yang berada di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut. Hal itulah yang menjadikannya unik dan menarik perhatian wisatawan maupun peneliti.
Sekretaris Desa Tangkeno, Rusdianto Radiman, menjelaskan bahwa julukan tersebut bukan sekadar gimik wisata, melainkan lahir dari kondisi geografis yang nyata. Ia meluruskan bahwa Tangkeno bukan “negeri di atas awan”, melainkan “negeri di awan”.
“Tangkeno bukan negeri di atas awan, tapi negeri di awan. Kalau negeri di atas awan beda lagi persepsinya,” ujar Rusdianto saat ditemui Sultratop.com, Sabtu (21/6/2025).
Kondisi geografis desa ini memungkinkan awan dan kabut turun sejajar dengan pandangan mata. Kabut tebal bahkan kerap membatasi jarak pandang hanya beberapa meter, menciptakan suasana hening dan magis seperti terputus dari dunia luar.
Nama “Tangkeno” sendiri berasal dari bahasa lokal yang berarti dataran tinggi. Di Bombana, istilah ini umum digunakan untuk menyebut wilayah-wilayah pegunungan. Namun, Tangkeno di Pulau Kabaena menjadi satu-satunya yang dikenal luas karena pesonanya yang khas.
Keunikan geografis dan keindahan alam Tangkeno kini mulai dilirik sebagai potensi wisata andalan Bombana. Pemerintah desa dan masyarakat setempat mendorong pelestarian lingkungan serta pengembangan sektor pariwisata berbasis alam tanpa mengabaikan kearifan lokal.
Selain panorama alam berkabut yang memesona, Desa Tangkeno juga memiliki kekayaan budaya dan sejarah yang menjadi daya tarik wisata. Di jantung desa, terdapat Plaza Tangkeno, ruang publik yang menjadi pusat aktivitas masyarakat sekaligus panggung berbagai perayaan adat dan kegiatan sosial.
Dari pelataran plaza, pengunjung dapat menyaksikan langsung keindahan Gunung Watu Sangia serta laut lepas yang membentang di kejauhan. Pada hari cerah, Pulau Sagori bahkan terlihat jelas, menambah pesona desa yang dijuluki “Negeri di Awan” tersebut.
Suasana di Plaza Tangkeno berubah saat malam hari. Embusan angin pegunungan dan taburan bintang menjadikannya tempat favorit bagi warga dan wisatawan untuk bersantai. Namun daya tarik Tangkeno tidak berhenti pada pemandangan.
Di balik pesona lanskap alamnya tersebut, desa ini menyimpan kisah yang sarat makna dan nilai, salah satunya adalah cerita tentang Ee Wulaa yang artinya ‘mata air emas’.
Mata air yang membentuk kolam tersebut telah lama disakralkan. Meski tidak besar, dan tidak pula mencolok, bagi masyarakat Tangkeno, sumber air ini menyimpan kekuatan simbolik yang besar.
Mereka percaya bahwa airnya memancarkan kilau seperti emas saat disentuh, atau saat terkena sinar matahari pada waktu-waktu tertentu. Kilau itu bukan hanya dilihat sebagai keindahan alami, tetapi juga sebagai pertanda bahwa tempat ini diberkahi.
Menariknya, tidak ada kandungan logam mulia yang pernah ditemukan di sekitar mata air itu. Wilayah ini juga tidak pernah masuk dalam peta eksplorasi pertambangan. Namun, justru di situlah letak keistimewaannya. Bagi warga Tangkeno, kesucian Ee Wulaa tidak ditentukan oleh nilai ekonominya, melainkan oleh makna filosofis yang dikandungnya.
Mereka memaknai Ee Wulaa sebagai lambang keselarasan antara manusia dan alam. Airnya jernih, tenang, dan mengalir terus-menerus tanpa henti seperti semangat masyarakat yang menjaga tradisi.
Mata air ini tidak boleh dirusak, tidak boleh diambil seenaknya, apalagi digunakan untuk kepentingan yang melanggar norma adat. Setiap tetesnya dihormati, karena dipercaya mengandung nilai-nilai kehidupan.
Tak jauh dari pusat desa, terdapat reruntuhan Benteng Tontontari, peninggalan Kerajaan Moronene Toku’tu’a. Di lokasi ini, masyarakat percaya terdapat roh pelindung desa bernama Tangkenompeolia, yang menjadi simbol spiritual dan penjaga tanah adat.
Dalam seni dan tradisi, Tangkeno dikenal luas lewat Tari Lumense, tarian perempuan Moronene yang menjadi bagian dari ritual tolak bala. Tarian ini pernah tampil di Istana Merdeka Jakarta dalam peringatan HUT RI ke-77 pada 17 Agustus 2022.
Rusdianto menyebut desa mereka menawarkan pengalaman wisata berbasis budaya yang autentik.
“Wisatawan bisa tinggal di homestay, mencicipi makanan khas Kabaena, hingga membeli oleh-oleh langsung dari tangan perajin seperti gula aren, dodol, dan gula kelapa,” ujarnya.
Dengan potensi besar yang dimiliki, pengembangan pariwisata Tangkeno terus didorong, meski masih perlu penguatan di bidang infrastruktur dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM).
“Salah satu kendala utama kami adalah infrastruktur dan SDM pariwisata. Tapi kami selalu antusias jika ada pelatihan atau kesempatan berbagi pengalaman dengan desa wisata lain di Sulawesi Tenggara,” imbuh Rusdianto.
Pemerintah desa terus berupaya memajukan Tangkeno sebagai destinasi wisata unggulan di Bombana. Program pelatihan, promosi, serta perbaikan fasilitas umum terus didorong secara bertahap.
Meski prosesnya panjang, warga Tangkeno tetap optimistis. Mereka meyakini bahwa pariwisata yang tumbuh tanpa meninggalkan budaya adalah jalan terbaik. Di desa ini, awan yang menggantung bukan penghalang, melainkan pelindung yang menyelimuti warisan leluhur yang terus dijaga.
Laporan: Tim Redaksi