14 June 2025
Indeks

Bokori Kembali Bernapas: Menyusuri Jejak Lama, Merajut Harapan Baru

  • Bagikan
Bokori Kembali Bernapas: Menyusuri Jejak Lama, Merajut Harapan Baru
Pulau Bokori

SULTRATOP.COM — Di balik riak tenang lautan Sulawesi Tenggara, sebuah pulau kecil bernama Bokori perlahan kembali bernapas. Dulu ia sunyi, ditinggalkan oleh penyu yang tak lagi bertelur, oleh suku Bajo yang direlokasi, dan oleh wisatawan yang tak lagi datang.

Namun, seperti ombak yang tak pernah benar-benar diam, Bokori menyimpan denyut: jejak lama yang meninggalkan kenangan, dan harapan baru yang kini mulai dirajut.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

Pulau Bokori dikelilingi laut biru yang tenang dan jernih. Ombaknya bersahabat, membuat siapa pun bebas bermain air bahkan membawa serta anak-anak. Namun, laut tetap harus dihormati, di beberapa titik terdapat bulu babi yang bisa melukai kaki jika tak hati-hati.

Meski matahari siang terasa terik, pohon-pohon pinus pelindung dan angin sepoi-sepoi menjadi sahabat sejati bagi siapa pun yang ingin berlama-lama duduk menikmati pemandangan.

Pulau Bokori memang dikenal karena keindahan alamnya: pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, serta view sunset yang sempurna. Pengunjung yang datang ke sini sering kali terpesona dengan suasana damai yang ditawarkan pulau ini.

Sejarah Pulau Bokori dan Dukungan Pemerintah

Di balik keindahannya, Pulau Bokori menyimpan kisah yang tak semua orang tahu. Bokori berasa dari bahasa bajo yang teridiri dari dua suku kata. “Boko” yang artinya ‘penyu’ dan “ri” yang artinya ‘tempat’. Maksudnya, Bokori merupakan tempat penyu untuk bertelur.

Seiring kehadiran manusia di pulau ini, penyu perlahan tak terlihat lagi. Pulau Bokori kemudian dihuni oleh masyarakat suku Bajo, pelaut ulung yang telah lama menyatu dengan laut.

Karena abrasi dan perubahan alam, mereka kemudian direlokasi ke daratan Soropia, meninggalkan pulau kecil itu dalam kesunyian dan kenangan. Namun begitu, penyu juga tak kembali lagi bertelur.

Dari informasi yang dihimpun Sultratop.com, Pulau Bokori sempat berjaya sebagai objek wisata bahari di era Gubernur La Ode Kaimoeddin. Cottage-cottage berdiri megah, rumah dua tingkat, yang oleh penduduk setempat disebut rumah jabatan gubernur, dibangun di sini dengan berbagai fasilitas mewah di dalamnya.

Seiring berjalannya waktu, pesona Pulau Bokori mulai memudar. Puncaknya, setelah pria tangguh bernama Bidu yang dipercaya menjaga pulau itu meninggal, Bokori perlahan sepi. Tak terawat dan tak terlindungi.

Pulau itu nyaris terdengar sebagai destinasi wisata. Tinggal jejak kenangan dan pohon kelapa yang berbaris sunyi. Agas dan nyamuk seakan menjadi satu-satunya penghuni tetap. Tak banyak yang datang kecuali saat ada pesta nelayan atau perayaan tahun baru. Pengunjungnya pun penduduk di sekitar Pulau Bokori yang datang untuk bernostalgia. Mencari jejak-jejak bekas rumah mereka atau tempat mereka bermain-main dulu.

Namun, harapan tak sepenuhnya pupus. Di bawah kepemimpinan Gubernur Nur Alam, Bokori mendapat perhatian kembali. Visi besar pun diluncurkan: mengubah Pulau Bokori menjadi destinasi wisata kelas dunia. Cottage dibangun ulang, jalan setapak diperbaiki, akses listrik dan air tawar pun disiapkan. Bahkan festival khusus diluncurkan demi memperkenalkan kembali keindahan pulau ini kepada dunia.

Kini, Bokori kembali bergeliat, belajar untuk berdiri lagi, menyambut siapa saja yang ingin melihat keindahan alam yang nyaris hilang itu. Menelusuri jejak-jejak kehidupan yang pernah ada di atasnya. Bokori bukan sekadar pulau. Ia adalah kisah tentang tentang harapan yang hidup kembali.

Bokori Kembali Bernapas: Menyusuri Jejak Lama, Merajut Harapan Baru
Vila yang ada di Pulau Bokori sebagai fasilitas wisata milik pemerintah.

Jadi Ikon Wisata Bahari

Bertahun-tahun lamanya Pulau Bokori terdiam, hanya disapa angin dan ombak yang tak pernah lelah menyentuh bibir pantainya yang berpasir putih. Keindahan yang tak pernah pudar membuat pulau ini kembali bersinar dengan wajah baru sebagai ikon wisata bahari Sulawesi Tenggara.

Kini, saat senja menyapa Bokori, pulau ini hidup kembali. Suara debur ombak menjadi orkestra alam yang mengiringi matahari tenggelam di cakrawala, menghadirkan ketenangan yang tak bisa dibeli di kota mana pun. Ati Iskandar, pengunjung asal Kendari, menyebutnya sebagai tempat terbaik untuk melarikan diri dari penat.

“View-nya itu keren, apalagi pas matahari menghilang di bawah cakrawala, indah sekali,” katanya setelah menghabiskan malam di Pulau Bokori bersama teman-temannya, medio Januari 2025.

Secara administratif, Pulau Bokori berada di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Dari Kota Kendari, ibu kota Sultra, pulau ini hanya berjarak sekitar 30 menit perjalanan darat. Jalan menuju perkampungan Bajo, tempat untuk menyeberang ke Pulau Bokori kini mulus, hasil proyek infrastruktur era Gubernur Ali Mazi dan Wakil Gubernur Lukman Abunawas, yang menelan anggaran lebih dari Rp800 miliar.

Dari perkampungan Bajo, pengunjung bisa menyeberang ke Pulau Bokori dengan perahu milik warga. Tarifnya sangat terjangkau, hanya sekitar Rp20.000 per orang, dan Anda bisa memilih kapan akan dijemput kembali.

Di pulau ini, pengunjung bisa memilih untuk sekadar bersantai di gazebo, menikmati banana boat, atau menginap di vila yang disediakan pengelola. Biayanya Rp500 ribu untuk setengah hari atau Rp1 juta untuk semalam.

Meski masih ada yang perlu dibenahi seperti air bersih dan penerangan malam, Ati tetap merekomendasikan pulau ini. Ia memuji kebersihannya, hasil kerja warga lokal yang kini diberdayakan untuk menjaga keasrian Bokori.

Pulau Bokori kini tak lagi sunyi seperti dulu. Di akhir pekan atau libur nasional ia ramai dikunjungi. Kadang jadi tempat berkumpul keluarga besar, kadang jadi saksi cinta yang dipatri di bawah langit senja. Di balik hamparan pasir dan deru ombaknya, Bokori menyimpan cerita: tentang sejarah, tentang kehilangan, dan tentang kebangkitan. (—)

 

Laporan: Tim Redaksi

Follow WhatsApp Channel Sultratop untuk update berita terbaru setiap hari

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI


  • Bagikan