21 November 2024
Indeks

‘Alarm’ Leptospirosis di Musim Hujan, Gejala hingga Perkembangannya di Sultra

  • Bagikan
‘Alarm’ Leptospirosis di Musim Hujan, Gejala hingga Perkembangannya di Sultra
Ilustrasi

SULTRATOP.COM, KENDARI – Masuknya musim penghujan di wilayah Sulawesi Tenggara (Sultra) menimbulkan kekhawatiran baru terkait peningkatan kasus leptospirosis di wilayah ini.

Menurut Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, leptospirosis merupakan penyakit zoonosis (ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya) yang disebabkan infeksi bakteri dari genus leptospira yang patogen. Penyakit ini lebih sering terjadi di negara dengan iklim tropis dan subtropis. Terutama di negara kepulauan dengan curah hujan dan potensi banjir yang tinggi.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

Masyarakat yang berisiko terkena penyakit tersebut ialah yang tinggal atau beraktivitas di wilayah banjir dan pemukiman banyak tikus. Mereka yang rutin melakukan olahraga air, petani, peternak, petugas kebersihan, hingga petugas pemotong hewan juga berisiko tertular penyakit leptospirosis.

Leptospirosis memiliki gejala awal yang mirip dengan flu biasa seperti demam, sakit kepala, dan mual. Namun, jika tidak segera ditangani, penyakit ini dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih serius seperti kerusakan ginjal, pendarahan, bahkan kematian.

Dilansir dari health.detik.com, Sultra menjadi salah satu dari 15 wilayah yang pernah melaporkan kasus leptospirosis. Sementara wilayah lainnya yaitu DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Bali.

Secara umum, di Indonesia sumber utama penularan leptospirosis berasal dari tikus, anjing, babi, sapi, dan kambing. Umumnya dapat ditularkan melalui urine binatang yang mengandung bakteri leptospirosa.

Penjabat (Pj) Gubernur Sultra, Andap Budhi Revianto melalui pesan edukasi Pemprov Sultra yang dibagikan via WhatsApp kepada awak media Sultratop.com pada Rabu (31/1/2024) menjelaskan bahwa gejala leptospirosis yaitu demam di atas 38 derajat celcius, sakit kepala, badan lemah, nyeri betis hingga sulit berjalan.

Kemerahan di selaput putih mata, kulit kekuningan, pembesaran hati dan limpa, dan ada tanda-tanda kerusakan ginjal. Gejala leptospirosis tersebut memiliki masa inkubasi yaitu antara 2 hingga 30 hari dengan rata-rata berlangsung 7 hingga 10 hari.

“ Jika mengalami gejala leptospirosis ringan atau berat, maka segera ke puskesmas atau sarana kesehatan terdekat. Segera minta bantuan ke tenaga medis untuk penanganan penyakit leptospirosis,” pesan Pemprov Sultra dalam video edukasi.

Pencegahannya dapat dilakukan dengan menyimpan makanan dan minuman agar aman dari tikus, cuci tangan dan kaki setelah bekerja di sawah, kebun, selokan dan tempat lainnya, menyediakan dan menutup rapat tempat sampah dan tamping air. Menjaga kebersihan lingkungan, meningkatkan perangkap tikus, menutup luka dengan perban kedap air, serta memakai sepatu boot jika ke daerah basah atau kotor.

Perkembangan Leptospirosis di Sultra

‘Alarm’ Leptospirosis di Musim Hujan, Gejala hingga Perkembangannya di Sultra
dr Muhammad Ridwan

Kepala Bidang (Kabid) Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Sultra, dr Muhammad Ridwan, mengatakan, sampai saat ini, belum ada kasus leptospirosis di Sultra. Kata dia, yang ada hanya suspek berdasarkan pemeriksaan Rapid Diagnistic Test (RDT) leptospirosis.

Kendati demikian, hasil kajian leptospirosis yang dilakukan oleh Balai Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BTKLPP) Makassar di Konawe Selatan (Konsel) tahun 2018 menunjukan bahwa hasil pemeriksaan uji laboratorium terhadap 18 sampel ginjal tikus yang diperiksa dengan PCR, terdapat 2 sampel positif yaitu di Desa Silae Jaya.

Kajian tersebut dilakukan pada responden 108 orang yang tersebar pada 3 desa yaitu Desa Silea Jaya, Tirta Mertani, dan Ranooha dan jumlah sampel tikus masing-masing Desa Silae Jaya 12 ekor, Desa Tirta Mertani 4 ekor, dan Desa Roonoha 2 ekor.

Kajian dilakukan berdasarkan laporan adanya kasus kematian suspek leptospirosis tahun 2017 di Desa Silae Jaya, Kecamatan Buke, Wilayah Kerja Puskesmas Andoolo. Serta hasil Rikhus Vektora tahun 2016 yang menunjukkan adanya laporan reservoir leptospirosis dan hantavirus yang baru selain reservoir yang telah ditemukan sebelumnya pada tikus dari ekosistem jauh pemukiman positif leptospirosis.

“ Jelasnya kasus positif leptos hanya di tahun 2018 yang ada kasus kematian akibat suspek leptos di Konsel. Laporan ini saya terima dari BTKLPP Makassar, soalnya saya kelola program tersebut nanti tahun 2020, Pak,” ungkap Ridwan via pesan WhatsApp.

Sampel positif pada kajian 2018 itu berada di dekat rumah yang terdapat kasus kejadian leptospirosis. Berdasarkan hasil uji sampel yang positif tersebut menunjukkan bahwa terdapat faktor risiko terhadap kejadian leptospirosis di Desa Silea Jaya.

Sementara hasil observasi kondisi lingkungan menunjukan bahwa kondisi sanitasi lingkungan di ketiga desa yang menjadi sampel tersebut sangat berpotensi untuk berkembangnya vektor penyebab penyakit leptospirosis.

Selanjutnya, pada 2019 ditemukan tikus yang positif leptospirosis di Kota Kendari bagian Benu-benua dan Lepo-lepo. Untuk itu, tahun 2022 dilakukan kajian leptospirosis di wilayah Kendari oleh BTKLPP Makassar kerja sama dengan Dinkes Sultra dan Dinkes Kendari.

Tujuannya untuk mengetahui gambaran epidemiologi leptospirosis di wilayah Sultra khususnya kota Kendari termasuk distribusi, faktor risiko, kecenderungan musiman, demografis, profil aktivitas serologi, gejala klinis, dan keparahan penyakit.

Hasilnya, dari 39 kasus suspek leptospirosis yang diperiksa tidak ada sampel positif RDT leptospirosis. Namun, uji lanjutan dengan PCR menunjukan hasil 8 kasus suspek leptospirosis positif dan tidak ada sampel positif MAT. Sehingga, rekomendasi yang diberikan berupa pengobatan, melakukan penyelidikan epidemiologi, dan edukasi masyarakat untuk menerapkan pola hidup sehat dan bersih. (——)

Penulis: M1
Editor: Ilham Surahmin

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI


  • Bagikan