SULTRATOP.COM, BUTON TENGAH — Di puncak sebuah bukit sunyi yang memandang laut dan hutan tropis Pulau Muna, berdiri makam Sangia Wambulu, ulama agung dari masa Kesultanan Buton. Tak sekadar tempat peristirahatan terakhir, situs ini menjadi tujuan wisata religi yang memikat, tempat ziarah yang menyatukan sejarah dan spiritualitas.
Namanya Sangia Wambulu, sosok alim dari zaman Kesultanan Buton yang makamnya kini menjadi destinasi wisata religi di sebuah desa kecil bernama Baruta, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Nama Sangia Wambulu sangat hidup dalam ingatan lisan masyarakat Buton. Ia dikenal juga sebagai La Ode Ali, anak negeri Buton pertama yang dipercaya menjadi Imam Masjid Agung Keraton Buton, sebuah posisi yang selama berabad-abad lebih sering dipegang oleh ulama dari luar tanah Buton.
Ketokohan Sangia Wambulu tidak terletak pada gelar atau kekuasaan. Saat hendak diberi jabatan oleh Kesultanan Buton karena pemikirannya yang tajam, ia justru memilih jalan sunyi—meninggalkan hingar-bingar keraton dan menyepi di belantara, membaktikan hidupnya pada zikir dan doa. Menjelang wafat, ia hanya meninggalkan satu wasiat: makamnya harus dirawat dan diziarahi dua kali dalam sepekan.
Kini, makam Sangia Wambulu berdiri anggun di puncak tertinggi Pulau Muna, seolah lebih dekat dengan langit daripada bumi. Secara administratif, Buton Tengah adalah hasil pemekaran dari Kabupaten Buton, namun secara geografis, sebagian besar wilayahnya, termasuk Desa Baruta, memang terletak di Pulau Muna.
Dari atas bukit itu, terlihat laut membentang dan hijaunya kampung yang dibalut hutan tropis. Peziarah terus berdatangan, menapaki jalan setapak. Bukan hanya untuk Sangia Wambulu, tetapi juga untuk merasakan kekhusyukan dan ketenangan kampung religius ini.
Makam itu sendiri telah ditata rapi, dilengkapi atap dan pelindung agar para peziarah bisa duduk dengan nyaman. Di samping makam terdapat baruga atau balai pertemuan berbentuk rumah panggung. Ruang dalam baruga itu diberi sekat, dimanfaatkan peziarah untuk istirahat, salat, bahkan menginap.
Di area makam juga terdapat sebuah miniatur perahu yang melambangkan perjuangan Sangia Wambulu saat mengarungi selat Pulau Buton, baik untuk kepentingan keagamaan maupun tugas-tugas dari Kesultanan Buton.
Selain menjadi tempat ziarah, kawasan ini juga menjadi cermin kearifan lokal dan warisan spiritual yang terus hidup hingga kini.
Tradisi yang Terus Bertahan
Tempat ini jadi istimewa dan menarik perhatian, bukan hanya kisah Sangia Wambulu, tetapi juga tradisi panjang yang terus hidup melalui para penjaga makam.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Sultratop.com dari berbagai sumber, kompleks makam ini dirawat oleh 10 perempuan lansia yang tinggal di sekitarnya.
Mereka dikenal dengan sebutan Kabolosi, yang berarti “berganti secara bergiliran”. Tradisi ini telah berlangsung turun-temurun dan diikat oleh aturan adat: jumlah mereka harus selalu sepuluh, tidak boleh lebih atau kurang. Jika salah satu wafat, penggantinya hanya bisa diambil dari garis keturunan langsung.
Pemilihan Kabolosi tidak melalui proses formal, melainkan berdasarkan wasiat spiritual Sangia Wambulu dan ketentuan adat yang diwariskan. Setelah ditetapkan, para Kabolosi tinggal di Lambu Balano (rumah adat khusus) dan sepenuhnya mengabdikan diri untuk menjalankan tugas ritual, termasuk ziarah dua kali dalam sepekan.
Tradisi ini tidak berjalan sendiri. Para Kabolosi dibantu oleh tujuh perempuan pendamping yang disebut O’Waa. Mereka berperan penting dalam menjaga kelancaran pelaksanaan ritual serta merawat lingkungan kompleks makam.
Keseluruhan sistem ini menjadikan makam Sangia Wambulu bukan sekadar situs sejarah, melainkan ruang hidup bagi tradisi yang terus bertahan di tengah perubahan zaman.
Pengaruh Besar Sang Ulama
Kisah Sangia Wambulu tidak hanya berakar kuat di Desa Baruta, tetapi juga menjalar melintasi batas-batas administratif dan melekat dalam budaya masyarakat Buton Tengah, khususnya di Kecamatan Sangia Wambulu.
Camat Sangia Wambulu, Yusni R. Mahdy, mengungkapkan bahwa kultur masyarakat di wilayahnya jauh lebih mencerminkan nilai-nilai Kesultanan Buton dibandingkan daerah lain di Buton Tengah.
Warisan Sangia Wambulu, seorang ulama besar dari masa kesultanan, tak hanya tertanam dalam lisan masyarakat, tetapi juga terwujud dalam berbagai praktik budaya dan ritual keagamaan yang terus dijaga hingga kini.
Dalam Festival Kande-Kandea Tolandona, misalnya, nama Sangia Wambulu tetap hadir secara simbolik melalui tradisi Pakandea-pakandea, sebuah ritual persembahan makanan kepada leluhur sebagai ungkapan syukur dan penghormatan.
Tak hanya itu, setiap tahun setelah Idulfitri, masyarakat bersama pengurus masjid setempat menjalankan puasa sunnah selama enam hari, yang diakhiri dengan buka puasa bersama. Tradisi ini diyakini berasal dari ajaran langsung Sangia Wambulu dan hingga kini tetap dilaksanakan secara turun-temurun, menunjukkan betapa ajaran sang ulama telah membentuk sistem nilai yang hidup dan mengakar dalam keseharian masyarakat.
Jejak Sangia Wambulu sebagai ulama besar pun menjangkau lebih jauh dari sekadar wilayah Buton Raya. Makamnya kini menjadi magnet spiritual yang menarik peziarah dari berbagai penjuru, tidak hanya dari Baubau, Buton, dan Muna, tetapi juga dari daerah lain seperti Jawa, serta dari luar negeri seperti Malaysia, Brunei, dan bahkan Turki.
“Beberapa di antaranya mengaku mendapat petunjuk dalam mimpi untuk datang ke makam ini,” ungkap Yusni, menyiratkan bahwa makam Sangia Wambulu tak hanya menjadi tempat ziarah, tetapi juga ruang spiritual yang diyakini memiliki daya panggil tersendiri bagi para pencari hikmah.
Melihat potensi yang terus tumbuh, pemerintah kecamatan kini mendorong agar makam Sangia Wambulu diresmikan sebagai destinasi wisata religi.
“Kami sudah usulkan ke kabupaten, ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, agar makam ini dijadikan destinasi wisata religi,” kata Yusni.
Ia memperkirakan, jumlah peziarah yang datang setiap tahun telah mencapai ribuan, meskipun data resminya belum tersedia.
Dengan segala warisan nilai, ritual, dan jejak spiritual yang ditinggalkan, Sangia Wambulu bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah sosok yang pengaruhnya tetap hidup, melampaui masa, menjembatani generasi, dan menjadikan sebuah bukit sunyi di Buton Tengah sebagai titik temu antara sejarah, budaya, dan spiritualitas yang terus bertahan.
Akses ke Makam
Bagi yang berangkat dari Kota Kendari, salah satu rute yang bisa dipilih adalah jalur laut menuju Raha, ibu kota Kabupaten Muna, menggunakan kapal cepat dari Pelabuhan Nusantara. Setibanya di Raha, perjalanan dilanjutkan lewat jalur darat menuju Buton Tengah. Waktu tempuh sekitar dua jam dengan kendaraan roda dua atau roda empat, melewati jalan beraspal yang cukup layak dilalui.
Jika ingin memangkas waktu, Anda bisa memilih kapal cepat langsung ke Baubau, atau memanfaatkan penerbangan berkala menuju kota tersebut. Dari Baubau, perjalanan dilanjutkan menggunakan perahu motor atau speedboat menuju Pelabuhan Tolandona atau langsung ke Desa Baruta. Ongkosnya berkisar antara Rp15.000 hingga Rp20.000 per orang, tergantung rute dan jenis perahu.
Bagi yang membawa kendaraan pribadi, ada alternatif jalur darat melalui Pelabuhan Feri Torobulu di Konawe Selatan. Dari sini, feri akan menyeberangkan ke Pulau Muna, lalu perjalanan diteruskan ke wilayah Buton Tengah dengan estimasi waktu sekitar tiga jam dari Torobulu.
Akses ke Buton Tengah juga tersedia dari arah selatan. Jika berada di Pulau Kabaena (wilayah Kabupaten Bombana), Anda bisa menyeberang langsung ke Buton Tengah menggunakan speedboat.
Setibanya di pusat Kecamatan Lakudo, yang menjadi ibu kota kabupaten, untuk mencapai makam Sangia Wambulu, masih perlu menempuh perjalanan darat sejauh 20–23 kilometer. Dengan kondisi jalan yang tidak sepenuhnya mulus, perjalanan ini biasanya memakan waktu sekitar satu jam menggunakan kendaraan bermotor. (Ad/ST)
Laporan: Tim Redaksi