SULTRATOP.COM, KENDARI – Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mengungkapkan bahwa dari sembilan bahasa daerah, tujuh di antaranya terancam punah, Selasa (17/12/2024). Ketujuh bahasa daerah tersebut, yakni: bahasa Cia-Cia, Culambacu, Kulisusu, Lasalimu – Kamaru, Moronene, Tolaki dan Muna.
Tujuh bahasa daerah di wilayah Sultra terancam punah akibat penurunan jumlah penutur. Bahasa Muna, meski menghadapi tantangan serupa, masih dapat bertahan di kalangan generasi muda.
Sementara itu, bahasa Culambacu, Kulisusu, dan Cia-Cia mengalami kemunduran yang signifikan, terutama di daerah perkotaan dengan masyarakat yang semakin beragam.
Penyuluh Bahasa Balai Bahasa Sultra, Cahyo, mengatakan bahwa penurunan vitalitas bahasa daerah sangat terasa di wilayah heterogen, seperti Kota Kendari, yang dihuni oleh berbagai suku. Fenomena perkawinan antar suku menjadi salah satu faktor utama, karena banyak pasangan yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi, meninggalkan bahasa daerah yang digunakan oleh keluarga masing-masing.
“Ada yang menikah antara Tolaki dan Muna, namun anak-anak mereka hanya menggunakan bahasa Indonesia dan tidak mewarisi bahasa daerah orang tua mereka,” ungkap Cahyo.
Selain itu, pola pikir generasi muda yang menganggap bahasa daerah tidak memiliki nilai praktis dalam kehidupan sehari-hari turut mempercepat kemunduran bahasa tersebut.
“Banyak anak muda yang merasa bahasa daerah tidak bermanfaat, karena tidak digunakan dalam dunia kerja atau jual beli,” tambahnya.
Sebagai langkah untuk menyelamatkan bahasa-bahasa yang terancam punah, Balai Bahasa Sultra telah merencanakan revitalisasi bahasa Tolaki di tujuh kabupaten/kota, yaitu Kota Kendari, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Kolaka, Kolaka Utara, dan Kolaka Timur.
Namun, bahasa Culambacu dan Kulisusu saat ini berada di titik kritis. Menurut Cahyo, di wilayah yang menggunakan kedua bahasa tersebut, hanya sedikit orang yang masih fasih berbahasa daerah.
“Generasi muda sudah mulai meninggalkan bahasa tersebut, yang memicu kekhawatiran akan hilangnya bahasa ini dalam waktu dekat,” kata Cahyo.
Cahyo juga menyoroti pentingnya peran masyarakat dalam melestarikan bahasa daerah, karena jika tidak segera ditangani, bahasa-bahasa tersebut bisa hilang dalam beberapa dekade mendatang.
“Jika bahasa daerah punah, itu bukan hanya menghilangkan komunikasi, tetapi juga hilangnya identitas budaya kita,” ujarnya.
Untuk itu, ia berharap masyarakat dapat lebih sadar akan pentingnya melestarikan bahasa daerah sebagai warisan budaya leluhur.
“Bahasa adalah bagian dari identitas kita, dan itu perlu dirawat dan diwariskan kepada generasi berikutnya,” pungkas Cahyo. (A/ST)
Penulis: Bambang Sutrisno