SULTRATOP.COM, KENDARI – Seperti kota-kota besar lainnya di Tanah Air, tren fotografer pelari—sebutan untuk fotografer yang memotret pelari atau orang-orang yang tengah olahraga lari kini juga marak di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Para fotografer ini dapat dengan mudah ditemui di spot-spot ruang publik yang digunakan untuk berolahraga, salah satunya di kawasan pedestrian eks MTQ Kendari. Jasa fotografer jalanan ini sangat diminati oleh para pelari hingga menjadi sumber penghasilan tambahan bagi mereka. Tentu jumlah fotografer ini juga semakin meningkat.
Para pelari yang ingin mendokumentasikan aktivitasnya akan menggunakan jasa para fotografer ini. Foto-foto hasil jepretan mereka dihargai dengan tarif yang sudah ditentukan untuk tiap hasil jepretan.
Hadirnya FotoYu, aplikasi foto yang menghubungkan fotografer dengan para pelari juga semakin memudahkan tren ini. Para fotografer akan mengunggah foto-foto hasil jepretan mereka di FotoYu, lalu pengguna yang ingin membeli foto-foto itu dapat mencari foto mereka di aplikasi hanya dengan menggunakan teknologi pengenalan canggih RoboYu.
Sayangnya, tren fotografer ini memberikan kekhawatiran bagi sebagian orang yang merasa privasinya di ruang publik telah terganggu. Meski banyak yang merasa terbantu dengan kehadiran mereka, namun tak sedikit pula yang merasa tidak nyaman foto mereka diambil tanpa izin.
Kiki, salah satu pelari di eks MTQ Kendari, yang ditemui pada Minggu (23/2/2025) mengaku tak nyaman jika fotonya diambil tanpa seizinnya. Ia takut fotonya akan diunggah di media sosial dan menjadi bulan-bulanan komentar bernada negatif tentang tubuhnya sebagai seorang perempuan.
Hal itu bukan tanpa alasan. Dirinya sudah melihat banyak foto-foto perempuan yang tengah lari diunggah ke media sosial oleh fotografer itu sendiri. Entah sadar atau tidak, foto-foto itu justru mengundang komentar seksis.
“Kita gak bisa melarang juga, karena memang ada yang butuh. Ada pangsa pasarnya, hanya mungkin etika lebih dikedepankan lagi dengan tidak mengambil foto atau video tanpa seizin yang bersangkutan,” ujar Kiki.
Salah satu pelari lainnya yang enggan disebutkan namanya, mengaku tak keberatan untuk difoto. Namun, jika difoto berulang-ulang tentu akan membuatnya risih.
“Apalagi ada beberapa oknum fotografer yang kalau kita kasi tahu malah bilang ‘tutup saja mukanya kalau tidak mau difoto?’. Lah kita, kan datang memang untuk olahraga, bukan untuk difoto,” ungkapnya.
Tak hanya itu, ada juga fotografer yang sengaja mengambil video pelari, terutama perempuan yang dianggap seksi dan mengunggahnya ke media sosial. Gara-gara ini, ia dan teman-temannya kini lebih berhati-hati saat berolahraga agar tidak divideokan sembarangan.
Hal yang sama diungkapkan oleh Naviza. Ia mengatakan, kehadiran fotografer pelari ini tidak dipungkiri sebagai peluang bisnis baru, namun penerapan etika juga diperlukan. Gara-gara maraknya fotografer pelari di kawasan MTQ ini, ia dan teman-teman memutuskan berpindah tempat demi menjaga privasinya.
“Kita datang berolahraga demi menjaga kesehatan bukan menjadi objek foto,” ujarnya.
Beri Gestur Penolakan
Salah satu anggota komunitas pelari di Kendari, Hartono menyambut baik maraknya fotografer pelari ini. Kehadiran mereka membantu komunitas lari yang memerlukan dokumentaasi foto. Di lain sisi, para fotografer juga bisa mendapatkan cuan.
“Kami ini kan komunitas pelari, jadi memerlukan dokumentasi foto biar bisa diunggah di media sosial. Tujuannya tentu untuk membagikan aktivitas lari, agar orang-orang merasa terpanggil juga untuk olahraga melalui konten-konten positif yang kami bagikan,” terangnya.
Salah satu fotografer di Kendari, Frans Patadungan mengaku telah mengikuti pelatihan tentang etika mengambil foto pada objek orang. Seorang fotografer, kata dia, harus memahami perilaku orang yang menunjukkan gestur penolakan, seperti memberikan tanda tertentu maupun menyampaikan langsung.
“Kita sering mendapatkan penolakan, jadi tinggal kami hapus saja fotonya demi kenyamanan mereka dengan cara menyilangkan tangan X atau kasih tahu langsung juga tidak apa-apa,” ungkapnya.
Frans menambahkan, dirinya tidak pernah mengambil video orang berlari. Namun beberapa rekannya masih melakukan rekam video. Tentu, kata dia, itu menjadi pertanggungjawaban pribadi masing-masing.
“Kalau mendapatkan izin boleh-boleh saja, yang menjadi masalah ketika tidak memperoleh izin dan langsung main unggah sebagai konten. Saya rasa ini yang perlu kami jaga, yaitu harus beretika,” ucapnya.
Ia pun memberi saran bagi pelari yang tidak ingin diambil foto atau videonya agar memberi tanda X atau peringatan. Ada banyak alasan orang-orang tidak mau difoto, seperti menjaga privasi, wajah dalam keadaan jelek, dan sekadar untuk berolahraga saja.
“Kami sesama fotografer selalu mengingatkan, jika ada yang menolak kami langsung memberikan arahan pada teman-teman untuk menandai pakaian ini dan sebagainya tidak boleh difoto serta menghapus fotonya dengan segera,” tutupnya. (A/ST)
Laporan: Bambang Sutrisno