SULTRATOP.COM, BOMBANA- PT Panca Logam Makmur (PLM), sebuah perusahan pertambangan emas di Bombana, Sulawesi Tenggara menolak mediasi yang digelar 18 Juni 2025 lalu oleh Pemda Bombana, terkait klaim kepemilikan lahan dan tudingan tak membayar kompensasi lahan.
Pilihan untuk tidak berlama-lama dari pertemuan di kantor Bupati Bombana, bukan tanpa alasan sahih. PLM menilai, mediasi itu cacat hukum, tidak sah dan inprosedural.
“Kami menghargai apa yang dilakukan Pemda Bombana, tapi dengan segala hormat, bagi kami pertemuan itu tidak sah. Salah satu alasanya, karena para pihak yang diundang tidak memiliki legal standing untuk hadir. Bagi kami, ini cacat hukum. Makanya, kami tegas menyatakan menolak semua resume pertemuan tersebut yang sudah kami tuangkan dalam nota keberatan,” tutur kuasa hukum PT PLM, dari Kantor Advokat Dr. H. Adi Warman, S.H., M.H., M.B.A.
Nota keberatan tersebut sudah diserahkan ke Wakil Bupati Bombana, yang kala itu memimpin mediasi. Dalam surat nota keberatan nomor 05/KH.PLM/AW-VI/2025 tertanggal 24 Juni 2025, PLM menyatakan dengan tegas menolak mediasi. Alasannya, rapat mediasi tersebut dianggap melanggar asas legalitas, mengabaikan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, serta melibatkan pihak-pihak yang tidak sah secara hukum maupun adat.
“Kami menyatakan bahwa rapat mediasi ini harus dihentikan dan tidak dilanjutkan dalam bentuk apa pun karena cacat hukum”, kata Adi Warman, dalam siaran persnya tertanggal 25 Juni 2025.
Menurut Adi Warman, sebagai pemimpin rapat saat itu, Wakil Bupati telah terang menjelaskan bahwa para pihak dalam objek perjanjian kerja sama lahan adalah antara pihak Kerajaan Moronene dan pihak perusahaan PT Panca Logam Makmur, di mana pihak-pihak yang menandatangani perjanjian adalah perwakilan yang sah ditunjuk oleh masing-masing pihak pada saat itu dan bukan atas nama pribadi/perorangan. Harusnya, Pemkab Bombana bisa lebih bijaksana dan adil menilai situasi tersebut.
Lanjut dia, faktanya, pimpinan rapat malah menyebut kembali pihak-pihak yang tidak lagi berkepentingan di dalam perjanjian untuk hadir sebagai undangan bahkan sebagai pribadi, yakni tercantum nama Leo Chandra Edward dan Fredie Tan di dalam surat undangan mediasi. Bagi PLM, diundangnya Leo Chandra Edward itu cacat hukum karena yang bersangkutan tidak memiliki legal standing yang jelas dan tidak mempunyai hak bersuara mewakili perusahaan karena sudah tidak lagi menjadi pemegang saham dan tidak lagi menjabat appaun di vdalam perusahaan.
Adi Warman menyatakan bahwa mediasi yang digelar tersebut telah mengabaikan prinsip legalitas dan asas kepastian hukum, karena beberapa alasan. Pertama, tidak mengindahkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
“Kedua, karena mengundang dan melibatkan pihak-pihak yang tidak memiliki dasar hukum maupun adat sebagai perwakilan yang sah,” terang Adi Warman.
Padahal, kata Adi Warman, klaim atas lahan seluas lebih kurang 600 hektare di Desa Wumbubangka, Kecamatan Rarowatu Utara, Kabupaten Bombana telah diselesaikan melalui proses peradilan dan dinyatakan sah sebagai tanah ulayat Kerajaan Moronene di bawah penguasaan Abdul Latif Haba melalui tiga tingkat peradilan.
Pertama, Putusan PN Kendari No. 23/Pdt.G/2022/PN Kdi. Lalu, putusan PT Sultra No. 94/Pdt/2022/PT. KDI dan terakhir adalah putusan MA RI No. 2801 K/Pdt/2023.
“Ini semuanya sudah inkracht dan mengikat secara nasional. Kami bukan tidak mengakui adanya perjanjian lahan antara pihak perusahaan dengan pihak kerajaan, namun mediasi itu adalah bentuk pengabaian nyata terhadap putusan pengadilan dan prinsip negara hukum, karena menghadirkan pihak-pihak yang tidak lagi mempunyai legal standing yang tepat,” tegasnya.
Dalam nota keberatan tersebut, PLM juga menyampaikan peringatan tegas kepada Pemkab Bombana agar tidak melanjutkan atau mengulang proses mediasi terkait lahan dimaksud. Alasannya, setiap forum yang mengabaikan putusan pengadilan serta melibatkan pihak yang tidak memiliki legal standing hanya akan memperkeruh suasana, menimbulkan potensi konflik sosial, dan mencoreng kewibawaan pemerintah.
PLM juga mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bombana agar menangguhkan seluruh proses pengukuran, pemetaan, dan sertifikasi lahan yang didasarkan pada risalah mediasi tersebut. Perusahaan ini juga berharap agar aparat penegak hukum berhati-hati dalam mengeluarkan pernyataan baik dalam notulen rapat mediasi ataupun tindakan hukum yang dapat disalahartikan dan menimbulkan kegaduhan.
PLM melalui kuasa hukumnya menegaskan kembali bahwa pihaknya tetap menghormati kemitraan dan perjanjian kerja sama yang telah ditandatangani secara sah dengan Kerajaan Moronene pada masa lalu. Namun mereka tidak dapat menerima pelaksanaan mediasi yang dinilai menyimpang dari putusan pengadilan.
“Negara hukum tidak boleh tunduk pada opini, tekanan, atau forum informal. Supremasi hukum adalah pondasi utama penyelesaian konflik agraria dan sosial,” tegas Adi Warman menutup pernyataannya.
Hingga berita ini diterbitkan, Redaksi Sultratop masih berupaya mengkonfirmasi persoalan tersebut ke Pemda Bombana. (===)
Post Views: 8
Follow WhatsApp Channel Sultratop untuk update berita terbaru setiap hari
Follow