SULTRATOP.COM, BUTENG — Tersembunyi di tengah hutan Desa Lantongau, Kecamatan Mawasangka Tengah, Kabupaten Buton Tengah, Gua Koo menyuguhkan kolam air biru jernih yang memikat siapa saja yang melihatnya.
Keunikan Gua Koo terletak pada kolam air tawar jernih berwarna biru kehijauan yang berada di dasar gua. Airnya tenang dan dingin, memantulkan cahaya matahari yang menyelinap di sela-sela celah batu.
Di sekeliling gua, rimbunnya pepohonan dan tumbuhan liar tumbuh subur, menciptakan nuansa sejuk dan asri yang membawa pengunjung seolah memasuki dunia yang berbeda, jauh dari hiruk pikuk kehidupan modern.
Namun, di balik keindahan alamnya, gua ini menyimpan cerita gaib tentang sosok La Koo dan asal-usul air yang diyakini muncul secara ajaib dari dalam tanah. Cerita tentang asal-usul gua ini terus hidup dari generasi ke generasi, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya setempat.
Kisahnya bermula dari seorang lelaki bernama La Koo, yang konon tengah menyusuri hutan untuk mencari akar pohon sebagai bahan pembuatan tali. Di antara semak dan batang kayu, ia menemukan sebuah akar basah yang tampak mencurigakan.
Ketika ia menarik akar itu, tanah di sekitarnya retak dan memancarkan air deras. Akar itu ternyata bukan sekadar akar, melainkan saluran alam yang menyimpan rahasia besar berupa mata air.
Dalam suasana yang penuh keheranan dan kekaguman, La Koo berdiri mematung di depan semburan air yang tiba-tiba memancar dari tanah tempat ia mencabut akar. Tak seperti orang kebanyakan yang mungkin akan panik atau lari karena takut, La Koo justru bersikap tenang. Ia seolah memiliki ikatan batin yang kuat dengan alam di sekelilingnya.
Melihat air terus menyembur tanpa henti, ia pun berkata, “Turun dulu, masih bisa dijilat anjing.” La Koo mengucapkannya dengan maksud agar air tersebut mengalir lebih dalam ke dalam bumi, tidak meluap begitu saja ke permukaan yang bisa tercemar atau diinjak sembarangan.
Anehnya, air itu menurut. Ia mengalir turun, masuk ke celah-celah tanah, seolah memahami maksud La Koo.
Tak cukup sekali, La Koo mengulangi ucapannya hingga empat kali. Setiap kali ia berucap, air tersebut terus turun lebih dalam, hingga akhirnya membentuk ruang bawah tanah yang kini menjadi Gua Koo—sebuah kolam alami yang tetap jernih, tenang, dan dihormati hingga sekarang.
Bagi masyarakat Desa Lantongau, peristiwa ini bukan sekadar legenda. Ini adalah bagian dari sejarah lisan yang diwariskan dan dipercaya, simbol bahwa alam dapat berinteraksi dengan manusia, jika manusia mampu mendekatinya dengan hati yang bersih dan niat yang tulus.
Dari peristiwa itu, warga menamai gua tersebut dengan nama La Koo sebagai bentuk penghormatan atas jasanya menemukan sumber air yang dianggap sebagai sumber kehidupan di tengah hutan.
Ketika ditanya apakah legenda itu benar adanya atau sekadar cerita rakyat biasa, Kepala Desa Lantongau, Amaluddin, memberikan jawaban yang penuh makna.
“Wallahu a’lam. Tidak ada masyarakat yang menyatakan bahwa cerita ini mitos. Kita tetap menghargai, karena cerita ini bagian dari sejarah desa kami,” ujarnya kepada Sultratop.com.
Kini, Gua Koo tak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga ruang kontemplasi bagi siapa saja yang ingin menyelami harmoni antara manusia dan alam. Mengunjungi tempat ini bukan sekadar liburan, melainkan juga perjalanan untuk memahami kearifan lokal yang hidup dalam kisah-kisah sederhana penuh makna.
Fenomena Air yang “Bertemu” hanya di Tengah Malam
Gua Koo bukanlah gua biasa. Di dalamnya terdapat dua kolam air jernih yang oleh masyarakat setempat dipercaya sebagai dua entitas yang berbeda di siang hari tapi bertemu setiap malam.
Air di kedua kolam yang berdampingan itu berwarna biru kehijauan dengan gradasi unik yang berubah saat matahari tepat berada di atas gua, menciptakan pemandangan langka yang membuat siapa pun terdiam kagum.
“Dan ini nyata, tapi sekarang sudah tidak bisa bertemu lagi karena sudah dipasangkan pompa air,” kata Awaluddin.
Dulu juga, masyarakat dan wisatawan bebas menyelam atau berenang di dalam kolam itu. Namun kini, keindahan itu hanya bisa dinikmati dengan mata dan hati. Kolam tersebut telah difungsikan sebagai sumber air bersih untuk desa di sekitarnya.
Setelah pompa air dipasang, tradisi mandi atau bermain air dihentikan, demi menjaga keberlangsungan sumber air.
Dengan ketinggian mulut gua sekitar 50 meter dan susunan stalaktit–stalagmit yang menawan, Gua Koo bukan hanya ruang fisik, tapi juga menyimpan daya tarik yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.
Pepohonan rindang di sekitarnya, suara burung liar, dan udara segar yang langsung menyergap dada membuat siapa pun merasa seperti memasuki dunia yang berbeda.
“Kejernihan airnya sangat memukau. Gradasi warna air, stalaktit yang masih aktif, dan pepohonan yang tumbuh di sekitar gua membuat saya benar-benar terpesona,” ungkap Tito Sumarsono, salah satu pengunjung yang tak bisa menyembunyikan kekagumannya terhadap Gua Koo.
Gua Koo telah lama dikenal sebagai destinasi wisata yang ramai dikunjungi, termasuk oleh wisatawan mancanegara. Gua Koo berada kurang lebih 15 kilometer dari ibu kota kabupaten dan posisinya berada di jalan poros yang menghubungkan Lakudo—Kecamatan Mawasangka induk.
Bagi yang ingin berkunjung, waktu terbaik adalah pagi hingga siang hari. Saat sore menjelang, gua ini cepat gelap, seolah meminta waktu untuk kembali kepada kesunyiannya.
Apa yang membuat Gua Koo berbeda dari gua-gua lain di Indonesia bukan hanya pesona alamnya, tetapi juga kisah dan peran penting yang dimilikinya. Dari legenda air yang “menuruti” perintah, hingga fenomena air yang “bertemu” setiap malam, dan fungsinya sebagai sumber air bersih warga. (Ad/ST)
Laporan: Tim Redaksi