SULTRATOP.COM, KONUT – Di tengah hamparan sawah di Desa Sambandete, Kecamatan Oheo, Kabupaten Konawe Utara, membentang sebuah telaga yang tenang dan memantulkan langit.
Dari kejauhan, tampak latar belakang perbukitan yang menjulang dan diselimuti kabut tipis. Sebuah pohon tumbuh miring di tepi kolam, menjadi elemen visual yang unik dan ikonik.
Dari atas, kolam ini tampak seperti sebuah lingkaran alami berwarna biru toska yang tenang dan memikat. Airnya begitu jernih dan hening, menciptakan kontras sempurna dengan tepian kolam yang ditumbuhi vegetasi liar.
Tempat ini dikenal sebagai Telaga Biru Oheo, bukan hanya karena keindahannya yang alami, tapi karena ia menyimpan dua kisah sakral yang hidup dalam ingatan warga. Kisah tentang panen tanpa akhir dari berkah Dewi Padi, dan kisah cinta Anawai Ngguluri, sang bidadari.
Padi yang Tak Habis-Habis karena Dewi Padi
Dahulu kala, masyarakat desa ini menggantungkan hidup dari padi ladang. Namun musim demi musim berlalu tanpa panen yang berhasil. Tanah kering, perut kosong, dan harapan nyaris hilang.
Suatu hari, terdengarlah tangisan bayi dari tengah ladang. Suara itu pilu, namun seolah membawa harapan. Warga berlari mencari sumber suara dan menemukan seorang bayi tergeletak di antara batang padi yang layu. Mereka membawanya pulang dan merawatnya.
Ajaibnya, sejak bayi itu hadir, padi tumbuh subur. Panen melimpah, desa kembali hidup. Bayi itu diyakini sebagai perwujudan Dewi Padi, sang penjaga kesuburan bumi.
Namun berkah itu membawa kelelahan. Panen tak pernah berhenti. Setiap kali padi dipanen, tanaman baru tumbuh lagi. Warga desa kehabisan tenaga. Rasa syukur berubah menjadi keluh.
Akhirnya, mereka mengambil keputusan berat: menenggelamkan sang Dewi Padi ke dalam telaga, demi bisa beristirahat.
“Jika aku ditenggelamkan, semua hasil panen akan lenyap,” ujar Dewi Padi.
Namun suara itu tak dihiraukan. Warga tetap melakukannya. Akibatnya, badai besar datang. Angin menerbangkan semua padi, dan tanah kembali tandus.
Hanya satu ikat padi yang tersangkut di sebuah pohon, yang menyelamatkan mereka dari kelaparan total. Berkat sisa padi itu, mereka kembali bertani dan hidup secukupnya.
“Mereka percaya, Dewi Padi sengaja menyisakan satu ikat padi itu karena tak tega,” tutur Munandar, warga setempat yang juga mendengar kisah ini dari neneknya, saat diwawancarai Sultratop.com.
Sejak saat itu, setiap panen tiba, warga berkumpul di tepian telaga. Mereka mengadakan syukuran, menyampaikan rasa terima kasih atas kehidupan yang masih diberikan.

Cinta Bidadari Anawai Ngguluri
Selain mitos tentang Dewi Padi, Telaga Biru Oheo juga menyimpan cerita rakyat tentang bidadari Anawai Ngguluri. Konon, tujuh bidadari turun dari kayangan untuk mandi. Mereka datang dalam wujud burung nuri, mencuri batang tebu dari ladang seorang petani muda bernama Oheo.
Kesal ladangnya terus dirusak, Oheo suatu hari menyaksikan bagaimana burung-burung itu berubah menjadi perempuan-perempuan cantik. Dengan diam-diam, ia mencuri pakaian termasuk selendang salah satu bidadari saat mereka tengah mandi di telaga biru. Oheo lalu menyembunyikannya.
Bidadari yang kehilangan selendangnya tak bisa terbang kembali ke langit. Namanya Anawai Ngguluri. Ia menangis di telaga yang sama, tempat dulu Dewi Padi pernah tenggelam.
Kemudian, Anawai Ngguluri bertemu Oheo yang mampu menenangkannya. Dari sana, tumbuh cinta di antara keduanya. Singkat cerita, mereka menikah, dan memiliki seorang anak.
Dalam alur kisahnya, Oheo mengingkari janjinya, membuat Anawai Ngguluri kecewa. Ketika akhirnya menemukan kembali selendang kahyangan yang dulu disembunyikan, ia pun terbang meninggalkan Oheo dan anak mereka, kembali ke langit.
Namun Oheo tidak menyerah. Dengan tekad kuat, ia menyusul Anawai ke kahyangan, melewati berbagai ujian dari orang tua sang bidadari. Setelah memenuhi semua tantangan, ia diizinkan membawa pulang istrinya kembali ke bumi.
Sejak saat itu, Oheo menjaga komitmen, bekerja lebih rajin, dan hidup lebih bijak demi keluarganya. Kisah mereka berakhir jadi keluarga bahagia.
Bagi masyarakat lokal, kisah ini bukan dongeng belaka. Telaga Biru adalah ruang spiritual: tempat dua dunia bertemu: bumi dan langit, manusia dan bidadari.
Hari ini, masyarakat yang sudah beralih dari padi ladang ke padi sawah, masih merawat tradisi. Tiap panen tiba, kata Munandar, mereka berkumpul di tepian telaga, membawa hasil panen, membacakan doa-doa.
Bukan untuk memanggil kembali sang dewi atau bidadari, tapi untuk mengingat, bahwa dari telaga ini, mereka pernah diberi kehidupan dan juga diingatkan bahwa keangkuhan dan keserakahan bisa menenggelamkan segalanya.
Menuju Lokasi dan Menikmati Telaga Biru Oheo
Selain kekayaan kisahnya, Telaga Biru Oheo menawarkan pengalaman wisata yang tenang dan menyegarkan. Pengunjung bisa berenang, bermain kano, atau sekadar duduk di gazebo menikmati semilir angin dan panorama sawah.
“Kalau siang hari, gradasi warnanya indah sekali. Seperti lukisan hidup,” ujar Jusril Mahendra, salah satu pengunjung yang pernah menikmati ketenangan dan pesona telaga ini.
Beberapa pengunjung juga mempercayai bahwa membasuh wajah di telaga ini membawa aura positif dan mempercantik wajah, sebagaimana dulu dilakukan oleh bidadari Anawai Ngguluri.
Untuk sampai ke Telaga Biru Oheo, pengunjung harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari Kota Kendari. Jalanan utama beraspal mulus, tapi 300 meter terakhir harus dilalui dengan berjalan kaki di atas jalan tanah di antara pematang sawah. Meski terkesan sulit, pengalaman itu justru memperkaya kesan petualangan.
“Dari jalan poros ke lokasi itu sekitar 300 meter. Kendaraan bisa diparkir di pinggir telaga karena berada di tengah persawahan, ya kita lalui jalan pematangan sawah,” jelas Munandar.
Selama perjalanan, wisatawan juga disuguhi beragam destinasi menarik seperti Pemandian Air Panas Wawolesea dan Pantai Taipa, serta deretan warung yang menawarkan kuliner khas Sulawesi Tenggara.
Meski belum dikelola secara profesional, Telaga Biru Oheo telah menjadi magnet wisata. Beberapa pengunjung membawa perahu kano pribadi untuk menelusuri tenangnya air telaga. Ada pula yang menguji adrenalin dengan meloncat dari pohon tinggi yang tumbuh di pinggiran.
Tak jarang, ada pula yang datang dengan membawa peralatan kemah. Mereka membangun tenda kecil di tepi telaga, memasak dengan kompor portabel, dan begadang di bawah langit bertabur bintang. Di pagi hari, suasana berubah: kabut tipis menggantung di atas air, suara burung-burung membangunkan hari dengan lembut, dan semilir angin mengantar aroma rerumputan basah.
Hingga saat ini, telaga ini belum dipungut retribusi apa pun. Semua pengunjung bisa bebas menikmati panorama tanpa biaya masuk. Namun warga setempat berharap keindahan ini bisa dikelola lebih baik, tanpa menghilangkan kesakralan dan kealamian yang menjadi daya pikat utamanya.
Kini, Telaga Biru Oheo menjadi saksi bisu dari dua kisah: kisah cinta Anawai Ngguluri yang mengajarkan kesetiaan dan keajaiban cinta, dan kisah Dewi Padi, yang menyampaikan pesan bahwa kemakmuran harus disertai rasa syukur dan kebijaksanaan. (Ad/ST)
Laporan: Tim Redaksi