28 June 2025
Indeks

Kisah Cinta Abadi di Balik Kemegahan Air Terjun Tumburano

  • Bagikan
Kisah Cinta Abadi di Balik Kemegahan Air Terjun Tumburano
Air Terjun Tumburano terdiri atas dua tingkatan tebing. Yang pertama disebut Tumburan Tama, menjulang setinggi sekitar 90 meter. Di bawahnya terdapat Tumburan Tina, tebing setinggi 30 meter.

SULTRATOP.COM, KONKEP – Di balik kemegahan Air Terjun Tumburano yang menjulang indah di jantung hutan Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan (Konkep), terdapat kisah cinta abadi yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Bukan sekadar legenda, cerita tentang sepasang kekasih yang hidup dalam ingatan kolektif warga. Ini adalah kisah dua jiwa yang memilih melompat ke keabadian saat cinta mereka tak lagi mendapat tempat di dunia.

Iklan Astra Honda Motor Sultratop

Konon, di masa lalu, sebelum tangga batu pertama dibangun, sebelum ada jejak manusia yang mengabadikan tempat itu dalam foto, Tumburano telah lebih dulu menjadi saksi. Saksi cinta dua anak muda: Duru Balewula dan Wulangkinokooti.

Nama mereka memang tak tertulis di buku sejarah. Tapi kisahnya masih sering diceritakan para orang tua setempat. Cerita itu terus hidup, berpindah dari satu mulut ke mulut lain, seperti aliran air yang tak pernah berhenti mengalir.

Duru Balewula adalah lelaki biasa. Ia bukan bangsawan, bukan pula pemuda kaya. Tapi hatinya dimiliki oleh satu-satunya perempuan yang menjadi nyawa dalam kisah ini: Wulangkinokooti. Seorang gadis desa berkulit putih bersih. Konon, bila ia menelan sirih, merahnya terlihat hingga ke lehernya.

“Cinta mereka seperti air Tumburano. Jernih, tulus, tapi keras kepala,” tutur Asnal, salah satu tokoh masyarakat yang masih menyimpan kisah itu.

Cinta itu tumbuh seperti rumput liar di tengah kebun. Tak ditanam, tapi mekar sendiri. Namun, seperti kebanyakan cinta dalam legenda, restu tak pernah datang semudah harapan. Orang tua Wulangkinokooti menolak hubungan mereka. Mereka tak percaya pada pilihan anak gadisnya.

Suatu hari, Wulangkinokooti disuruh menjaga kapas yang dijemur di halaman rumah. Kedua orang tuanya pergi ke kebun. Di saat itulah Duru Balewula datang. Mereka berbincang lama. Terlalu lama hingga lupa waktu, hingga hujan datang dan kapas yang dijemur basah terkena air.

Kejadian itu memantik amarah orang tua. Kapas rusak, kepercayaan ikut rusak. Tak ada maaf. Tak ada restu. Yang ada hanya larangan dan penolakan. Di titik itulah, cinta yang tak mendapat ruang di bumi memilih jalan keabadian.

Singkat cerita, Duru dan Wulangkinokooti pergi ke air terjun. Mereka berdiri di bibir tebing. Lalu melompat. Menghilang.

Tak ada batu nisan. Tak ada prasasti. Tapi pelangi masih sering muncul di sana, di antara kabut halus yang membelai wajah para pengunjung. Sebagian percaya, pelangi itu adalah tanda bahwa cinta mereka belum benar-benar mati. Bahwa mereka masih ada, masih menari bersama di balik derasnya air.

Air Terjun Tumburano hari ini mungkin dikenal sebagai destinasi wisata alam yang mempesona di Kabupaten Konawe Kepulauan. Namun bagi masyarakat setempat, ia lebih dari sekadar tempat rekreasi. Ia adalah makam cinta, museum perasaan, dan altar dari sebuah pengorbanan abadi.

Karena cinta, ketika tak bisa hidup di dunia, kadang memilih abadi dalam cerita, dan Tumburano, akan terus menjadi penjaganya.

Daya Tarik Tumburano: Tebing Eksotis, Kolam Alami

Melangkah di jalur menuju air terjun ini bagaikan menembus batas antara dunia nyata dan alam yang masih perawan. Langkah demi langkah, suasana kian hening, hanya kicauan burung yang bersahutan dari pepohonan, desir angin yang menyapu dedaunan, dan aroma lembap tanah hutan yang menguat lembut.

Perlahan, suara gemuruh air mulai terdengar, semakin jelas seiring perjalanan menanjak. Di ujung perjalanan itulah, Air Terjun Tumburano berdiri anggun, menyambut setiap tamu dengan keindahan yang nyaris tak tersentuh.

Air Terjun Tumburano, Permata Pulau Wawonii
Air Terjun Tumburano tampak dari atas.

Aliran airnya mengalir deras menuruni dinding batu sedimen raksasa berwarna kecoklatan, yang uniknya berbentuk menyerupai atap rumah adat honai khas Papua. Formasi geologi ini menciptakan kesan megah, tak hanya memanjakan mata, tapi juga menjadikannya latar yang sempurna untuk foto-foto instagramable.

Di bawah guyuran air yang jatuh dari ketinggian, terbentuk kolam alami yang luas. Kabut tipis yang tercipta dari benturan air menambah efek dramatis pada pemandangan, menghadirkan kesan yang memikat.

Di balik rindangnya pepohonan dan lekuk-lekuk alam yang nyaris tak terjamah, Air Terjun Tumburano berdiri tenang. Tak mudah mencapainya, jalan setapak yang menanjak, peluh yang menetes, dan langkah-langkah yang harus terus maju.

Namun, bagi mereka yang menjalaninya, justru di situlah letak maknanya. Perjalanan itu menjadi ruang perenungan, di mana setiap derap kaki menjauhkan dari kebisingan dunia, dan setiap detik mendekatkan pada kedamaian yang hanya bisa diberikan oleh alam.

“Pemandangannya indah. Airnya jernih dan segar. Ada sensasi-sensasi dinginnya,” ujar Dina Rahman, salah satu pengunjung kepada Sultratop.com.

Ia mengaku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menggambarkan keindahan Air Terjun Tumburano.

Air Terjun Tumburano terdiri atas dua tingkatan tebing. Yang pertama disebut Tumburan Tama, menjulang setinggi sekitar 90 meter. Di bawahnya terdapat Tumburan Tina, tebing setinggi 30 meter yang tetap menawarkan pemandangan luar biasa.

Menuju Tumburan Tama bukan hal yang mudah. Wisatawan harus menyiapkan fisik karena harus menaiki lebih dari 100 anak tangga yang telah diberi tegel dan pegangan.

Saat musim hujan, jalur tersebut bisa menjadi licin, terutama di sekitar bebatuan. Meski demikian, keindahan dari puncak Tumburan Tama membuat semua perjuangan terbayar lunas karena pemandangan yang luar biasa cantik.

Menuju Air Terjun Tumburano

Destinasi wisata ini terletak di Desa Tumburano, Kecamatan Wawonii Utara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara.

Perjalanan menuju air terjun ini dapat dimulai dari Kota Kendari, ibu kota Sulawesi Tenggara. Wisatawan harus menyeberangi laut dengan kapal feri selama kurang lebih dua jam menuju Pelabuhan Langara, ibu kota Kabupaten Konawe Kepulauan.

Dari Langara, perjalanan darat dilanjutkan sekitar 30 menit hingga satu jam menggunakan mobil atau sepeda motor, menyusuri jalanan yang berkelok dan diapit oleh hutan tropis.

Setibanya di titik parkir yang tak jauh dari lokasi, pengunjung masih harus berjalan kaki sekitar 10 hingga 15 menit. Sepanjang jalan disuguhi pemandangan alam yang asri dan udara yang segar.

Di ujung perjalanan itulah, suara gemuruh air mulai terdengar, pertanda bahwa Air Terjun Tumburano sudah menanti dengan keelokannya.

Saat ini belum ada biaya masuk yang diberlakukan dan fasilitas di sekitar air terjun masih sangat terbatas. Pengunjung disarankan membawa bekal makanan atau camilan sendiri, karena belum tersedia warung atau penjual makanan di sekitar lokasi.

Tokoh masyarakat setempat, Asnal, melihat potensi besar dari destinasi wisata ini. Ia meyakini, Air Terjun Tumburano bisa menjadi sumber ekonomi baru bagi warga di empat desa yang berbatasan langsung dengan kawasan ini.

“Kami harap ke depan ada kerja sama yang lebih serius untuk mengembangkan potensi ini. Tempat ini bukan hanya indah, tapi juga bisa jadi sumber penghidupan,” ujarnya.

Air Terjun Tumburano bukan hanya tentang keindahan alam. Ia adalah gabungan antara kekuatan geologi, kedalaman emosi manusia, dan potensi masa depan yang belum tergarap sepenuhnya.

Siapa tahu, suatu hari nanti, suara gemuruhnya tak hanya menyapa petualang yang datang, tapi juga menjadi saksi lahirnya kesejahteraan baru bagi masyarakat di sekitarnya.

Sudah siap menjelajah legenda cinta abadi di Air Terjun Tumburano? Bawa serta rasa penasaran, dan ayo temukan pengalaman berharga di balik keindahan alam Sulawesi Tenggara. (Ad/ST)

 

Laporan: Tim Redaksi

Follow WhatsApp Channel Sultratop untuk update berita terbaru setiap hari

IKUTI BERITA DAN ARTIKEL KAMI


  • Bagikan