SULTRATOP.COM – Gizi seimbang bukan sekadar soal makanan di meja, tetapi juga tentang akses, pemahaman, dan kebiasaan. Di Sulawesi Tenggara (Sultra), hal ini mulai digalakkan. Dari dapur sehat di Markas Brimob hingga kantin sekolah di pesisir, Badan Gizi Nasional (BGN) berupaya menghadirkan solusi. Lantas, bagaimana langkah mereka menjawab tantangan ini?
BGN memberi perhatian serius terhadap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Sultra. Lembaga tersebut mengutus Prof. Sitti Aida Adha Taridala, Direktur Tata Kelola Pemenuhan Gizi pada Deputi Bidang Sistem dan Tata Kelola BGN, untuk melakukan monitoring dan mengevaluasi sejumlah SPPG dari 24 hingga 27 Maret 2025 lalu.
Bersama dua staf dari deputi tersebut, Guru Besar Universitas Halu Oleo (UHO) ini memantau langsung perkembangan sejumlah SPPG di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, hingga Kota Baubau. Di Kota Kendari, terdapat SPPG yang sudah beroperasi, sementara ada juga yang masih dalam tahap pembangunan.
Salah satu SPPG yang baru dibangun berada di Markas Komando (Mako) Brimob Polda Sulawesi Tenggara. Gedung itu dibangun dengan standar dapur sehat dan memiliki berbagai ruangan, seperti ruang produksi, ruang bahan pangan, hingga ruang penyimpanan alat makan.
Namun, gedung SPPG Polda Sultra tersebut masih dalam tahap penyelesaian. Nantinya, SPPG ini ditargetkan menyediakan makanan bergizi gratis bagi masyarakat di Kecamatan Baruga dengan target 3.000 penerima manfaat.
Selain itu, SPPG MT Haryono yang mulai rampung pembangunannya ditargetkan melayani lima sekolah dalam radius 3 kilometer dari dapur umum dengan total penerima manfaat kurang lebih 2.026 orang.
Sementara itu, SPPG yang sudah beroperasi adalah SPPG Kota Kendari di Jalan Laute, Kecamatan Mandonga. SPPG ini telah melayani 12 sekolah dengan hampir 3.000 penerima manfaat.
Pentingnya Makan Bergizi di Daerah 3T
Selain mengunjungi Kendari dan Baubau, Prof. Sitti Aida juga meninjau kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) di Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), pada 26-27 Maret 2025.
Di kecamatan ini, dari 19 desa yang ada, enam di antaranya tidak memiliki akses darat dan hanya bisa dijangkau melalui jalur laut. Waktu tempuh antar desa berkisar satu hingga dua jam. Setiap desa hanya memiliki satu sekolah dengan jumlah murid yang minim.
Contohnya, SDN 15 Laonti di Desa Namu hanya memiliki 32 murid, sementara SDN Satu Atap (SATAP) 1 Konsel jumlah muridnya 24 orang. Selain itu, terdapat SMPN SATAP 1 dengan jumlah siswa 43 orang.
Kunjungan Prof. Sitti Aida ke Desa Namu dilakukan lewat darat dengan jalan tanah timbunan yang telah diratakan.
“Tidak ada kendaraan umum yang beroperasi. Saat musim hujan, jalan ini sangat licin, bahkan terbelah di beberapa bagian. Juga rawan longsor akibat struktur alami tanah di daerah ini,” tutur Prof. Sitti Aida ketika menceritakan perjalanannya.
Dari Desa Namu, perjalanan dilanjutkan ke Desa Tue-tue yang hanya bisa diakses melalui laut. Ia bersama rombongan menggunakan perahu motor kecil berkapasitas lima orang dengan waktu tempuh sekitar 50 menit. Di desa ini terdapat SDN SATAP 16 dengan 51 murid dan SMPN SATAP 16 dengan 16 siswa.
Kondisi geografis yang sulit serta keterbatasan sarana transportasi dan produksi pangan lokal menjadi tantangan dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis di daerah 3T. Oleh karena itu, menurutnya, tata kelola program ini harus disesuaikan dengan kondisi setempat.
“Dalam kondisi seperti ini, model dapur MBG di perkotaan tidak dapat diterapkan. Salah satu solusinya adalah konsep ‘dapur satelit’, dengan menjadikan kantin sekolah layak sesuai standar kebersihan dan kelayakan pangan,” jelas Aida.
Ia menyoroti pola makan masyarakat pesisir yang masih memprihatinkan. “Saudara-saudara kita di pesisir banyak memperoleh ikan, seharusnya sehat dan cerdas. Ternyata dalam kehidupan sehari-hari sangat miris kita lihat pola makannya, terutama di daerah-daerah itu kurang produksi sayur dan buah-buahan sebagai sumber vitamin dan mineral. Jika hanya mengandalkan ikan, zat gizi lainnya tetap kurang. Itu tantangan yang harus kita hadapi,” ujarnya.
Ia menekankan pentingnya mengonsumsi makanan dengan gizi seimbang, tidak hanya karbohidrat dan protein, tetapi juga vitamin dan mineral yang berasal dari sayur serta buah-buahan.
“Tidak harus buah mahal seperti apel atau anggur. Buah dan sayur lokal juga kaya akan vitamin dan mineral. Ini bukan masalah harga, tetapi kandungan gizi yang dibutuhkan tubuh,” tutupnya.
Sosok Prof. Sitti Aida Adha Taridala
Prof. Sitti Aida Adha Taridala merupakan salah seorang akademisi Universitas Halu Oleo (UHO). Dalam dunia riset, ia pernah fokus pada pengembangan sorume melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) UHO. Sorume atau Anggrek serat (Dendrobium utile) merupakan bagian dari biodiversitas Wallacea endemik Sulawesi.
Pada 30 Januari 2025, ia dilantik sebagai Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan (Pergizi Pangan) Sulawesi Tenggara. Organisasi ini berkomitmen mendukung program makan bergizi dengan fokus pada edukasi, sosialisasi, dan pengembangan pangan lokal.
Kemudian pada 7 Maret 2025 yang lalu, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) melantik Prof. Sitti Aida menjadi Direktur Tata Kelola Pemenuhan Gizi pada Deputi Sistem dan Tata Kelola BGN. Kunjungannya di berbagai daerah akan membantunya dalam menyusun pedoman MBG di Indonesia, termasuk untuk wilayah 3T. (===)