SULTRATOP.COM, BUTON SELATAN – Di bawah lampu 5 watt di rumahnya, Rasrin mulai belajar. Rasrin adalah siswa di SMAN 1 Batu Atas—salah satu SMA pertama di Pulau Batu Atas, Desa Taduasa, Kecamatan Batu Atas, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra). Belajar dalam cahaya senter sudah menjadi biasa baginya. Hingga 2018, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) hadir memberi harapan baru.
Jarum jam menunjukan pukul 9 malam. Namun buku bahasa Indonesia itu masih berada di tangan Rasrin. Ia mengulang kembali pelajaran yang telah diterimanya di sekolah. Sesekali, jari-jemarinya asyik menari di atas layar handphone untuk berselancar internet.
Pulau Batu Atas termasuk daerah tertinggal, terdepan dan terluar di Sulawesi Tenggara. Sejak kecil, ia bercita-cita menjadi seorang perawat.
Namun, susahnya akses listrik saat itu membuat mimpinya sempat meredup. Saat listrik belum masuk ke rumahnya, Rasrin belajar di bawah lampu pelita atau bermodalkan cahaya senter.
“Susah kita belajar. Kadang satu tangan harus pegang senter,” ungkapnya.
Harapannya kembali muncul ketika PLTS masuk tahun 2018 di desanya. Listrik mulai mengalir ke rumahnya. Keluarganya menggunakan aki dengan kapasitas kecil yang dibeli dengan harga Rp300 ribu.
Selain itu, akses jaringan internet juga baru hadir pada 2021. Meski jaringannya tak begitu cepat, tapi ini membuka harapan baru bagi Rasrin untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan
“Iyo, paling susah sekali jaringan. Kecuali kita pergi di gunung baru ada lagi jaringannya,” ungkap Rasrin.
Ia mulai merasakan lancarnya jaringan internet pada 2023. Tower jaringan besar telah dibangun. Rasrin kembali semangat belajar dengan patokan mimpi besarnya menjadi seorang perawat. Berbagai reverensi bacaan dan tontonan ia lihat melalui internet di handphone pribadinya seperti yang dilakukannya pada Kamis malam, 20 Maret 2025.
Listrik dan Jaringan Masuk Sekolah, Minat Sekolah Meningkat

Berdasarkan data BPS ‘Kecamatan Batu Atas dalam Angka’ tahun 2017-2024 menyebutkan jumlah siswa melanjutkan menengah pertama dan atas kian menurun sejak 2017. Pada tahun ajaran 2016/2017, jumlah siswa SD dan SMP mengalami penurunan yang signifikan. Yakni dari 1.706 menjadi 783 siswa. Sementara, pada 2018 hingga 2023, angkanya mengalami penurunan sekitar 6% saja.
SMA 1 Batu Atas merupakan satu sekolah yang memiliki aliran listrik terbatas sebelum masuknya PLTS dengan bantuan pemerintah. “Sekolah berinisiatif menghadirkan PLTS untuk kebutuhan listrik sekolah. Ini juga hasil patungan pihak sekolah dan orangtua siswa pada 2017,” ujar Supiadi, Kepala SMAN 1 Batu Atas. Sebelumnya, mereka menggunakan genset kecil dan aki yang dirakit secara mandiri.
“Dayanya mampu menyalakan lampu untuk penerangan,” ujarnya. Baginya, sarana pendidikan digital yang digembar-gemborkan oleh pemerintah sangat tidak cocok bagi mereka. Meski begitu, mereka tak putus asa.
Kemudian, mereka juga membeli internet ubiqu. Usaha berbuah manis, dengan listrik seadanya dan jaringan itu, SMAN 1 Batu Atas berhasil menyelenggarakan ujian berbasis online pertamanya dan 70 siswa yang mengikuti ujian itu berhasil lulus 100%.
Pada 2018, pemerintah membangun PLTS pertama di pulau Batu Atas. Data Dinas ESDM Sultra mencatat ada lima PLTS terpusat yang tersebar di Desa Wambongi, Batu Atas Barat, Taduasa dan dua sisanya di Desa Tolando. Pembangunannya menggunakan APBN EBTKE, yang kini menjadi aset kabupaten.
Kendati demikian, PLTS tersebut tidak mampu menjangkau seluruh masyarakat pulau, salah satunya SMAN 1 Batu Atas. Lokasinya berada di Desa Taduasa, sekitar 5 sampai 6 km dengan SMAN 1 Batu Atas sehingga aliran listriknya tidak dapat dirasakan sekolah.
Kepala Sekolah Supiadi kemudian berinisiatif untuk menghadirkan PLTS untuk kebutuhan listrik sekolah. Lagi-lagi, pihak sekolah dan para orang tua siswa berembuk. Hasilnya, sekolah harus meminta bantuan ke provinsi.
Namun, karena bantuan tak kunjung datang, mereka memutuskan menambah genset.
Pada 2020, mimpi punya PLTS akhirnya terwujud. Pihak sekolah mencoba membeli PLTS pribadi menggunakan subsidi silang, yaitu sumbangan dari orang tua siswa ditambah dengan dana BOS. Prosesnya bertahap, mulai dari modul dan aki berkapasitas 7.000 ampere.
“Cukup untuk kebutuhan penerangan sekolah dan beberapa perangkat digital saja,” ujarnya.
Berkat PLTS, proses belajar berjalan lancar, meski jaringan internet yang masih macet-macet. Kini, sekolah berencana menganggarkan penambahan 10 buah modul dan 2 buah aki.
Biasanya, para guru harus pergi ke Kota Baubau selama 6 jam melalui jalur laut untuk mengirimkan data siswa atau sekolah.
Tak hanya itu, pada 2024 lalu, kecamatan Batu Atas juga mendirikan SMAN 2 Batu Atas. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang (Kabid) Pembinaan SMA Dikbud Sultra, Ila Nasrah menyebut jumlah siswa terus bertambah ke jenjang yang lebih tinggi.
Dia pun terus mendorong pemerataan pendidikan di wilayah Sultra, tak terkecuali Pulau Batu Atas dan wilayah 3T lainnya. Salah satunya dengan mengupayakan Pulau Batu Atas mendapatkan bantuan Unit Sekolah Baru (USB) tahun 2025 untuk SMAN 2 Batu Atas.
“Ini adalah salah satu upaya dinas pendidikan supaya anak-anak itu tetap bisa mendapatkan pendidikan dengan fasilitas-fasilitas yang disediakan,” tutur Ila.
Pada 2024, jumlah siswa SMAN 2 Batu Atas saat didirikan sebanyak 20 orang. Dia bilang pendirian ini karena jumlah penduduk yang tercatat di BPS Buton Selatan sebanyak 12.821 jiwa, tak cukup hanya 1 SMA saja.
Tak ada dukungan pemerintah, PLTS Terancam Mangkrak

Kepala Bidang Energi Terbarukan Dinas ESDM Provinsi Sultra, Dewi Rosaria Amin mengatakan, anggaran investasi untuk PLTS tergolong besar, apalagi menyangkut kebutuhan dasar terutama di daerah terpencil. Misal biaya pembangunan PLTS adalah Rp150 juta per kW, jadi untuk PLTS seperti di Desa Taduasa 65 kW biaya pembangunannya bisa mencapai Rp9,7 miliar.
Pihaknya mendata, ada 217 PLTS di wilayah Sultra yang dibangun sejak program PLTS di mulai pada tahun 2015, terdiri dari 113 PLTS terpusat, 100 PLTS tersebar, dan 4 PLTS rooftop. Sebanyak 217 PLTS tersebut menyuplai
daya listrik untuk 300 lebih desa dengan total penerima manfaat atau yang menerima sambungan listrik 23.545 rumah.
Selain untuk warga, pada setiap desa terdapat 5 sampai 10 fasilitas umum yang juga memanfaatkan aliran listrik dari PLTS seperti sekolah, puskesmas pembantu, masjid, kantor desa, dan lainnya.
Sayangnya, tidak ada dukungan anggaran pemeliharaan dari pemerintah pusat. Sementara, pemerintah provinsi hanya mampu mengangarkan Rp400 juta untuk pemeliharaan PLTS terpusat di Desa Taduasa pada APBD tahun 2025.
“Sudah banyak yang tidak beroperasi, ada yang beroperasi tapi tidak maksimal, dan ada yang masih beroperasi. PLTS kan punya batas kemampuan, terutama baterai yang maksimal 5 tahun dan inverter yang bisa rusak jika terkena petir,” tutur Dewi.
Sementara itu, peneliti Universitas Halu Oleo Kendari, Asminar menyebut Pulau Batu Atas memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Mulai dari PLTS, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu/angin (PLTB), geotermal, gelombang laut dan lainnya. “Kalau dari segi harga, yang ekonomis memang PLTS,” tuturnya.
Katanya, karena kebutuhan daya listrik yang besar, seharusnya pemerintah bisa melakukan dengan penggabungan energi (hybrid). “Potensi laut Banda kan tinggi gelombangnya toh? Sebenarnya biaya tinggi sih, tapi ada potensi
untuk memanfaatkan gelombang laut untuk menghasilkan listrik, bisa di pinggir pantainya, bisa di tengah lautnya. Itu bisa diajukan ke pemerintah itu supaya energinya bisa digabung dengan PLTS,” ungkap Asminar.
Keunggulan hybrid ini, katanya bisa saling menutupi kekurangan sumber energi terbarukan untuk membuat pasokan listrik yang lebih stabil dan efisien. Dalam riset pemodelan koordinasi pembangkit listrik berbasis energi terbarukan dengan sistem baterai dalam konteks microgrid yang dilakukan Dr. Asminar, pemodelan secara hybrid tersebut dapat dilakukan dengan menggabungkan sistem utama seperti PLTS dan PLTB secara paralel dengan baterai utama.
“Itu kalau digabungkan energinya bisa lebih besar. Contohnya, saya pernah hybrid itu PLTS, PLTB dan PLTBG dari kotoran sapi. Karena kan matahari dari jam 6 pagi sampai jam 5 sore, selebihnya di-handle sama tenaga angin itu. Kalau angin itu dia dapat puncaknya yang betul-betul tinggi, bisa lebih tinggi dia hasilkan energi listrik,” tuturnya.
Sementara PLTBG sebagai pendukung yang memiliki baterai backup yang akan terhubung ke beban ketika baterai utama melemah atau terputus dari beban. Menggabungkan dua atau lebih sumber energi tersebut merupakan salah satu konsep hybrid mikrogrid.
Sistem mikrogrid inilah yang menjadi solusi membangun kawasan mandiri energi dengan menggunakan sumber energi terbarukan lokal di setiap kawasan. Skalanya tidak hanya terbatas untuk satu desa terpencil, tetapi tergantung besarnya daya yang dihasilkan termasuk mendorong penggunaan listrik untuk fasilitas lain seperti sekolah dan lainnya.
Meski listrik negara tak pernah hadir secara penuh, kata Supiadi, inisiatif sekolah dan orangtua terus hidup. Harapannya, katanya yang tak pernah padam. (—)
Penulis: Ismu Samadhani