SULTRATOP.COM, KONAWE — Tak perlu mendaki ribuan meter untuk merasakan sensasi berada di atas awan. Di Puncak Ahuawali, yang hanya berada di ketinggian 334 meter di atas permukaan laut (mdpl), kabut tipis dan awan menggumpal sering menyelimuti lanskap sabana yang luas, menciptakan sensasi berada di “lautan” awan.
Terletak di Desa Ahuawali, Kecamatan Puriala, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, puncak ini menjadi primadona wisata alam. Dari sabana luas hingga siluet pepohonan dan langit keemasan saat matahari terbenam, Puncak Ahuawali menawarkan pengalaman yang menarik untuk dicoba.
Menjelang sore, pendaki mulai berdatangan. Mereka mencari tempat yang pas untuk menyaksikan matahari terbenam, atau mendirikan tenda demi menikmati malam berselimut kabut dan pagi yang hangat dengan sunrise.
Pagi hari adalah momen magis: awan putih menutupi lembah, udara dingin merayapi kulit, dan semburat cahaya menembus kabut yang perlahan menyingkap.
Beberapa awak redaksi Sultratop.com pun telah menjajal sendiri pengalaman ini. Rute pendakian menuju puncak cukup jelas meski jarang dilalui kendaraan. Jalannya berupa tanah merah dan batu, mudah dilalui saat kemarau, cukup licin bila hujan.
Dari titik awal hingga puncak, terdapat lima titik datar untuk beristirahat, mengatur napas, dan menikmati perjalanan.
Kadang tampak di kejauhan gerombolan sapi Bali melintas dengan penggembala di belakangnya. Angin sejuk bertiup dari sela pepohonan, sementara padang ilalang bergoyang pelan, seolah menyambut para pendatang.
Perjalanan menuju puncak memakan waktu sekitar satu jam. Setibanya di atas, pengunjung bisa memilih sendiri spot kemah favoritnya. Disarankan membawa peralatan kamping, terutama jika ingin menyaksikan matahari pagi yang memesona.
Musim kemarau adalah waktu terbaik untuk datang. Awan lebih sering muncul dan jalur lebih aman. Sebaliknya, di musim hujan, jalanan licin dan peluang melihat gumpalan awan menari di antara perbukitan jauh lebih kecil.
Fenomena lautan awan biasanya muncul menjelang fajar. Saat itulah tubuh menggigil halus, dan segelas kopi panas terasa seperti anugerah. Burung-burung berkicau saling bersahutan, menyambut hari.
Begitu matahari naik perlahan, lautan awan pun surut, mengungkap bentang alam yang luar biasa—lembah-lembah terbuka, cakrawala meluas, dan cahaya pagi menari di sabana.
Sejak 2016, popularitas Ahuawali melejit berkat unggahan warga lokal di media sosial. Kini, setiap akhir pekan, rata-rata lebih dari 100 orang mendaki ke puncak ini. Mereka datang dari berbagai daerah, tidak hanya dari Konawe dan Kendari, tapi juga dari Muna, Buton, bahkan luar Sulawesi Tenggara.
“Paling ramai itu malam minggu. Banyak yang datang kemah, foto sunset, lalu bangun pagi untuk melihat sunrise. Bahkan ada yang naik jam empat subuh hanya untuk melihat matahari terbit,” jelas Suryana, Ketua Karang Taruna Muda Mandiri Desa Ahuawali, kepada sultratop.com.
Spot Paralayang dan Cerita tentang Sumur Keramat
Sebelum dikenal sebagai destinasi wisata, Ahuawali lebih dulu digunakan oleh TNI Angkatan Udara (AU) sejak 1997 sebagai lokasi latihan paralayang. Lokasi latihan itu berada di puncak pertama, bukan puncak tertinggi yang kini ramai dikunjungi wisatawan.
Hingga kini Puncak Ahuawali masih menjadi spot paralayang baik dari penghobi maupun TNI AU. Meski intensitas latihan telah berkurang, jejak sejarah itu masih membuktikan bahwa Ahuawali memang menarik dari berbagai sisi.
Nama “Ahuawali” berasal dari bahasa Tolaki, yakni ahua yang berarti sumur, dan wali yang berarti orang suci. Kisah yang hidup di tengah masyarakat menyebutkan bahwa para wali yang menyebarkan Islam di wilayah ini dahulu berwudu di sebuah sumur tua, yang lalu dikenal sebagai “sumur jin”.
Sumur ini benar-benar ada, terletak sekitar empat kilometer dari puncak, hanya bisa diakses dengan berjalan kaki. Berukuran 2 x 2 meter dengan air jernih dan dingin, sumur ini tersembunyi di tengah hutan lebat.
Meski jarang dikunjungi karena sulit dijangkau, air dari sumur itu masih mengalir ke pemukiman melalui pipa panjang, digunakan untuk irigasi sawah.
Masyarakat menyebutnya sumur keramat, sebuah tempat yang dipercaya menyimpan kekuatan magis dan dijaga oleh sosok perempuan tak kasatmata.
Sumur itu tak mudah ditemukan. Meski tak begitu jauh dari jalur pendakian, tak sedikit yang tersesat ketika mencoba mencapainya. Ada semacam batas tak terlihat yang seolah hanya bisa dilalui oleh mereka yang “diizinkan”.
“Kalau mau ke sana sebaiknya ramai-ramai. Ada yang pernah tersesat karena pergi cuma berdua atau bertiga,” ujar Suryana, Ketua Karang Taruna Muda Mandiri, yang telah berkali-kali menjelajahi kawasan ini.
Suryana tak sendiri. Banyak cerita turun dari para pendaki atau warga yang mencoba menuju sumur tersebut. Ada yang merasa terus berjalan dalam lingkaran, melihat pohon yang sama berulang kali, seolah tak pernah benar-benar mendekat ke lokasi.
“Ada yang cuma mutar-mutar. Jalannya itu-itu saja, padahal sudah lama jalan, tapi tidak sampai-sampai,” tuturnya.
Alam yang Indah, Tapi Harus Dijaga
Puncak Ahuawali masuk dalam wilayah pengelolaan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai (TNRAW). Oleh karena itu, semua kegiatan wisata diatur dengan prinsip konservasi.
Kepala TNRAW, Darman, melalui Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I, Yudhi Rusbiandi menjelaskan meskipun belum ada regulasi tertulis dari kementerian, setiap pendaki tetap diberi pengarahan sebelum naik.
Hal-hal yang dilarang antara lain: membawa pulang flora/fauna, membuang sampah sembarangan (kantong sampah disediakan), dan menyalakan api unggun karena sabana sangat rentan terhadap kebakaran.
Saat ini, pengelolaan wisata Puncak Ahuawali dilakukan secara kolaboratif antara pihak TNRAW dan masyarakat Desa Ahuawali melalui organisasi Karang Taruna.
Pengelolaan Puncak Ahuawali dengan membagi tugas masing-masing seperti petugas dari TNRAW melakukan pemungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tiket masuk kawasan Puncak Ahuawali dan parkir kendaraan pengunjung dikelola oleh pihak Karang Taruna Desa Ahuawali.
Terkait fasilitas di dalamnya, Ahuawali termasuk dalam zona rimba terbatas, yang secara hukum tidak memperbolehkan pembangunan fasilitas permanen kecuali untuk kepentingan konservasi.
Kawasan Puncak Ahuawali bagian tengah hingga ke puncaknya merupakan bagian dari kawasan konservasi Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai dan secara zonasi masuk dalam zona rimba sebagaimana ditetapkan melalui Keputusan Dirjen KSDAE No. SK 343/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016 tanggal 30 September 2016.
Pada zona rimba ini dimungkinkan untuk dilaksanakannya kegiatan wisata alam terbatas. Luasan zona rimba di Puncak Ahuawali sekitar 221,74 hektare (ha). Pada bagian tengah Puncak Ahuawali sebagian termasuk kawasan Hutan Produksi, dan pada bagian bawahnya (area titik start) merupakan Areal Penggunaan Lain (APL).
Meski kunjungan meningkat, Ahuawali masih terjaga kebersihannya. Aksi bersih-bersih rutin dilakukan bersama warga, pelajar, dan pemerintah desa. Kesadaran kolektif ini menjadi kunci utama.
“Alhamdulillah, sampai sekarang masih bersih. Kami memang terus tekankan kesadaran dari pengunjung. Tidak ada larangan tertulis, tapi jaga etika di tempat baru,” ujar Yudhi kepada Sultratop.com.
Yudhi menyebut bahwa dampak ekonomi dari wisata Ahuawali saat ini memang belum terlalu besar. Peningkatan kunjungan biasanya terjadi pada momen-momen tertentu seperti perayaan tahun baru atau peringatan 17 Agustus.
Ia berharap ke depannya, keberadaan wisata ini dapat memberikan manfaat ekonomi yang lebih luas bagi masyarakat setempat. Ia juga berharap akan terjalin kolaborasi yang lebih erat antara TNRAW, Dinas Pariwisata Konawe, dan Pemerintah Desa Ahuawali.
“Misal warga bisa buat usaha seperti kafe, penyewaan tenda, oleh-oleh seperti madu hutan atau kopi belut. Supaya warga bisa dapat penghasilan juga,” ungkap Yudhi.
Tak hanya itu, wisata paralayang juga sedang dalam tahap perencanaan oleh dinas pariwisata setempat. Dengan arah pengembangan yang tepat, Ahuawali tidak hanya akan menjadi ikon wisata alam, tetapi juga pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal berbasis konservasi.
Saat ini, tak sedikit pengunjung yang kembali lagi ke Puncak Ahuawali bukan saja karena daya tarik alaminya tapi juga karena kebersihan di atasnya. Pengunjung mendapatkan kantung sampah dari petugas TNRAW setelah mereka melakukan pembayaran tiket masuk, sehingga tidak ada sampah yang tertinggal di puncak.
Tips Menuju Puncak Ahuawali
Untuk mencapai Ahuawali dari Kota Kendari, wisatawan bisa memilih dua rute: poros Kendari–Tirawuta (Kolaka Timur) atau Kendari–Mowila (Konawe Selatan). Perjalanan dapat ditempuh dalam waktu sekitar dua jam menggunakan kendaraan roda dua maupun roda empat. Jarak dari pos penjagaan tiket hingga ke Puncak Ahuawali sekitar 2 km.
Puncak Ahuawali memiliki jalan tapak yang sudah tertata memudahkan pengunjung dalam menaiki puncak walau pada malam hari. Terdapat area untuk kamping di daerah puncak yang cukup luas.
Sebelum mendaki, pastikan mengikuti arahan petugas, menjaga sopan santun dan etika di alam terbuka, dan membawa kembali sampah turun. Sebab Ahuawali bukan sekadar tempat untuk menikmati pemandangan. Ia adalah warisan alam, yang keindahannya hanya akan abadi jika kita menjaganya bersama. (Ad/ST)
Laporan: Tim Redaksi