SULTRATOP.COM – Bupati Konawe Selatan (Konsel), Surunuddin Dangga, mengancam akan membawa guru honorer Supriyani ke jalur hukum setelah wanita tersebut membatalkan kesepakatan damai dengan orang tua murid yang diduga menjadi korban penganiayaan.
Langkah Supriyani yang menarik diri dari kesepakatan itu memicu respons keras dari Bupati, yang menilai tindakan dari warganya sekaligus honorer di bawah kepemimpinannya itu sebagai pencemaran nama baik.
Orang nomor satu dan paling berkuasa di Konsel itu, melalui Sekretariat Daerah Bagian Hukum, beralasan kesepakatan damai dibuat dengan baik, tidak seperti pengakuan Supriyani yang merasa terpaksa dan tertekan.
Sementara itu, Supriyani yang tengah mencari keadilan atas tuduhan yang menimpanya, kini otomatis terjepit di antara ancaman hukum dan proses hukum yang masih berjalan. Apakah Supriyani akan menemukan jalan menuju keadilan, atau justru semakin terjerat dalam tekanan hukum yang mengancam masa depannya?
Kisah ini dimulai saat Supriyani, guru honorer di SDN 4 Baito, Kecamatan Baito, dilaporkan atas dugaan penganiayaan terhadap seorang murid. Kasus ini memicu konflik antara Supriyani dan keluarga murid tersebut, di mana ayah si murid adalah seorang polisi.
Untuk meredakan ketegangan, Bupati Surunuddin Dangga berinisiatif memfasilitasi upaya perdamaian antara kedua belah pihak. Namun, upaya tersebut justru berujung pada sebuah kontroversi yang memperlihatkan bahwa niat damai Bupati Konsel mungkin tak sepenuhnya didasari oleh keinginan menyelesaikan masalah, melainkan lebih kepada kontrol politik di tengah masyarakat.
Pada 5 November 2024, Supriyani, yang sedang dalam situasi yang penuh tekanan, dibawa ke rumah jabatan Bupati untuk bertemu dengan keluarga murid yang terlibat dalam sengketa hukum. Di sana, Supriyani diminta untuk menandatangani kesepakatan damai yang difasilitasi oleh Bupati, disaksikan oleh Kapolres Konawe Selatan, AKBP Febry Sam. Namun, Supriyani merasa sangat tertekan dan tak sepenuhnya mengerti isi dari pernyataan damai yang ditandatanganinya.
“Pada saat itu, saya merasa terpaksa. Saya tidak tahu apa yang saya tanda tangani,” ungkap Supriyani dengan raut wajah cemas. Keesokan harinya, pada 6 November, Supriyani mencabut kesepakatan tersebut dan menyatakan bahwa dirinya merasa tertekan dan dipaksa dalam proses tersebut.
Langkah Supriyani ini memicu reaksi keras dari Bupati Surunuddin. Melalui surat somasi yang dilayangkan pada 7 November 2024, Pemda Konsel mengancam Supriyani dengan ancaman hukum jika tidak meminta maaf dan mencabut surat pencabutan perdamaian.
Bupati menilai bahwa tindakan Supriyani yang mencabut kesepakatan damai karena tertekan dan terpaksa telah mencemari nama baiknya, dan dia tak segan-segan untuk membawa masalah ini ke jalur hukum.
“Jika Saudari tidak melakukan yang kami minta, maka kami akan menempuh jalur hukum karena telah melakukan pencemaran nama baik,” bunyi somasi yang dikeluarkan oleh Bagian Hukum Pemda Konsel.
Pernyataan ini semakin memperuncing ketegangan antara Supriyani dan pihak pemerintah daerah yang seharusnya mendukung proses hukum yang sedang berlangsung.
Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) Sultra, Andri Darmawan, yang menjadi kuasa hukum Supriyani, dengan tegas menolak adanya perdamaian dalam kasus ini. Ia menyatakan bahwa mereka tidak akan menyerah untuk membela Supriyani, yang diyakini tidak bersalah, dan akan terus mengupayakan proses hukum yang objektif di pengadilan.
Terkait somasi, Andri menilai bahwa Pemda Konsel tidak memiliki dasar yang kuat untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik secara institusi. Menurutnya, yang berhak melakukan somasi atau pelaporan adalah individu yang merasa nama baiknya tercemar, bukan institusi.
Lebih lanjut, Andri menyebut bahwa somasi dan ancaman laporan tersebut hanyalah bentuk “kegenitan” dari Pemda Konsel. Ia menganggap kasus ini sebaiknya diselesaikan melalui proses hukum yang jelas di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, untuk mengungkap kebenaran dan keadilan tanpa intervensi.
Meski demikian, Kadis Kominfo Konawe Selatan, Anas Mas’ud, pernah mengklarifikasi bahwa niat Bupati adalah untuk meredakan konflik di tengah masyarakat, mengingat baik Supriyani maupun keluarga murid merupakan warga yang memiliki pengaruh besar di Desa Wonua Raya. Dia juga menegaskan bahwa Pemda Konsel tidak akan campur tangan dalam proses hukum yang berjalan di pengadilan.
Dengan ancaman hukum yang mengintai, Supriyani kini terjebak dalam ketidakpastian. Di satu sisi, dia merasa harus terus melawan untuk mendapatkan keadilan. Di sisi lain, Bupati Surunuddin dengan tegas mempertahankan posisinya, menggunakan ancaman hukum sebagai senjata untuk menekan guru honorer itu.
Keadilan yang dicari oleh Supriyani kini terhalang oleh jurang ketegangan antara upaya hukum yang berlangsung dan tekanan dari Bupati Konsel. Apakah Supriyani akan memperoleh keadilan yang dia impikan, ataukah dia justru akan semakin terseret dalam perseteruan yang semakin memanas ini? Satu hal yang pasti, proses hukum ini akan terus bergulir, dan setiap langkah yang diambil akan membawa dampak besar pada kasus Supriyani.
Bupati Surunuddin sendiri belum memberikan pernyataan resmi mengenai tindak lanjut somasi yang dikeluarkannya. Masyarakat Konawe Selatan kini menyaksikan drama hukum ini, apalagi Bupati mereka seolah turun “gelanggang” masuk dalam perkara ini.
Selain itu, kasus ini juga memunculkan pertanyaan mendasar tentang apakah pemerintah daerah memiliki hak untuk masuk dalam urusan hukum yang seharusnya diselesaikan di pengadilan?
Catatan Redaksi