SULTRATOP.COM, KENDARI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia berkolaborasi dengan AJI Kendari melatih jurnalis perempuan untuk mengatasi kekerasan berbasis gender. Hal ini dilakukan sebagai bentuk perlindungan terhadap jurnalis perempuan yang rentan menjadi korban kekerasan baik secara fisik maupun online.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di salah satu hotel di Kota Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra) selama 2 hari pada 9 hingga 10 Februari 2025. Pelatihan ini diikuti 15 jurnalis perempuan asal Kota Kendari, Palu, Manado, Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), Makassar, Ambon, NTT, dan Ternate.
Rangkaian kegiatan tersebut diisi pemateri dari Digitally Tante, Ellen, bersama Koordinator Bidang Internet AJI Indonesia, Adi Marsiella. Dalam kegiatan yang berlangsung selama 2 hari itu, para peserta dibekali berbagai materi keamanan bagi jurnalis perempuan.
Pada hari pertama, para peserta dibekali pemahaman konsep dasar keamanan digital meliputi literasi dan kekerasan digital, pemahaman konsep keamanan holistik, keamanan digital, serta pemahaman dan bedah kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) pada jurnalis.
Sementara pada hari kedua, Minggu (9/2/2025), peserta dibekali dengan praktik dasar keamanan digital dan penanganan awal meliputi konsep dasar respons insiden berupa asesmen risiko ancaman digital personal dan kelompok dan digital hygiene, serta materi terkait Dukungan Psikologis Awal (DPA).
Pemateri kegiatan, Ellen mengatakan, apa yang diberikan pada jurnalis perempuan itu sangat penting mengingat kekerasan dan serangan digital kian meningkat. Sementara untuk serangan digital pada perempuan mempunyai khususan tersendiri.
“Makanya ada istilah kekerasan berbasis gender. Penting sekali bagi para jurnalis perempuan terkapasitasi bisa melindungi dirinya sendiri, memahami hal-hal untuk mengamankan dirinya sendiri juga,” tutur Ellen.
Selain itu, hal tersebut juga penting untuk mendorong advokasi agar perlindungan terhadap jurnalis perempuan semakin kuat.
Kata Ellen, pada kesempatan yang singkat itu, para jurnalis perempuan diberi gambaran terkait situasi kekerasan pada jurnalis perempuan baik secara global maupun nasional.
Pembahasan tersebut untuk mengetahui bagaimana modus-modus kekerasan berbasis gender dan KBGO, konteksnya pada kerja-kerja jurnalis perempuan, keamanan holistik termasuk tindakan langsung yang bisa dilakukan jurnalis perempuan untuk mengamankan dirinya.
Ia berharap, AJI di daerah-daerah bisa lebih tegas lagi jika ada anggotanya yang mengalami KBGO. Tidak hanya pada pelaku di lingkungan internal, tetapi juga dilingkungan eksternal seperti narasumber, redaksi di perusahaan, dan lainnya.
Ketua AJI Kendari, Nursadah mengatakan memahami sistem keamanan penting dipahami semua jurnalis. Terlebih jurnalis perempuan yang rentan terhadap aksi-aksi kekerasan baik fisik, kekerasan seksual, maupun KBGO.
“Banyaknya tindak kekerasan yang dialami jurnalis perempuan dibuktikan dengan hasil survei 2023 lalu, di mana kurang lebih 80 persen jurnalis perempuan khususnya di Kota Kendari pernah menjadi korban kekerasan baik verbal maupun nonverbal,” ujar Nursadah.
Untuk itu, AJI berkomitmen terus berupaya mengedukasi jurnalis perempuan untuk memahami bentuk-bentuk kekerasan yang rentan dihadapi dalam melakukan tugas-tugas jurnalistik. Kata Nursadah, segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis harus dilawan bersama.
Sementara itu, salah satu peserta pelatihan, Ketua Divisi Perempuan dan Dewan Majelis Etik AJI Ambon, Joanny Pesulima mengatakan, ia bersama beberapa peserta lain memang pernah mengikuti pelatihan serupa baik online maupun offline.
Kendati demikian, ada pengetahuan tambahan secara terperinci yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Kata Joanny, pengetahuan yang diberikan dalam pelatihan tersebut sangat penting untuk dibawa ke daerah masing-masing.
Perempuan yang telah bergelut sebagai jurnalis sejak tahun 1999 itu menyebut waktu pelatihan yang diberikan tersebut cukup singkat. Ia bersama peserta lain mengaku lebih nyaman belajar sambil mengaplikasikan langsung materi keamanan jurnalis pada perangkat yang digunakan sehari-hari.
“Mungkin ke depannya kami sangat berharap waktu pelatihan seperti ini bisa lebih panjang, sehingga bisa membawa pulang untuk diaplikasikan ke daerah masing-masing,” tutur Jo, sapaan akrabnya. (B/ST)
Kontributor: Ismu Samadhani